Bernyanyi sudah menjadi tren dan budaya global di tengah masyarakat kiwari. Bukan hanya kalangan generasi muda yang suka bernyanyi, melainkan anak-anak dan para orang tua pun juga senang akan hal demikian. Di Indonesia sendiri, bernyanyi kerap kali dijadikan sebagai ajang perlombaan dengan tujuan pencarian bakat para generasi bangsa, terutama di bidang musik.
Saking ngetrennya, tak jarang banyak orang yang melantunkan atau menyanyikan pelbagai macam lagu. Mulai dari dangdut, pop, rocks, reggae, dan lain-lain. Bukan hanya di tempat umum dan panggung, melainkan juga melantunkannya di dalam masjid. Karena itu, tulisan pendek ini hendak mengupas status hukum bernyanyi di dalam masjid. Mengingat masjid, merupakan salah satu tempat yang disucikan dan diagungkan dalam Islam. Juga sebagai tempat untuk berdzikir dan beribadah kepada Allah.
Sebagai tempat yang dimuliakan, tentu pertanyaan yang muncul dalam benak kemudian bolehkah seseorang bernyanyi atau mendendangkan lagu di dalam masjid? Dalam hal ini ulama masih berbeda pendapat. Ada yang melarang secara tegas. Juga ada yang memperbolehkan meski dengan beberapa syarat.
Pertama, ulama yang melarang secara tegas adalah Imam Jalaluddin As-Suyuti. Menurutnya, seseorang yang bernyanyi atau mendendangkan lagu di dalam masjid dilarang secara keras (tidak boleh), bahkan perilaku tersebut dikategorikan bid’ah dan sesat, sehingga perlu diberi sanksi atau hukuman. Sebagaimana dinyatakan dalam kitabnya bertajuk Al-Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’, yaitu:
ومن ذلك: الرقص والغناء فى المسجد، وضرب الدف، أو الرباب، أوغير ذلك من آلآت الطرب. فمن فعلل ذلك فى المسجد، فهو مبتدع ضال، مستحق للطرد، والضرب، لأنه استخف بما أمر الله بتعظيمه.
“Di antaranya adalah menari, menyanyi di dalam masjid, memukul duf (rebana) atau rebab (sejenis alat musik), atau selain itu dari jenis-jenis alat musik. Maka, barang siapa yang melakukan itu di masjid di termasuk mubtadi’ (pelaku bid’ah) yang sesat, sehingga patut baginya diusir dan dipukul, karena dia telah meremehkan perintah Allah untuk memuliakan masjid”. (Imam Jalaluddin As-Suyuti, Al-Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’, hal. 275)
Untuk memperkuat argumennya, Imam Suyuti menyitir Al-Quran Surat An-Nur ayat 36 sembari memberikan penjelasan:
(في بيوت أذن الله أن ترفع ” أي تعظم ” ويذكر فيها اسمه)، أي يتلى فيها كتابه. وبيوت الله هي المساجد؛ وقد أمر الله بتعظيمها، وصيانتها عن الأقذار، والأوساخ، والصبيان، والمخاط، والبزاق، والثوم، والبصل، وإنشاد الشعر فيها، والغناء والرقص؛ فمن غنى فيها أو رقص فهو مبتدع، ضال مضل، مستحق للعقوبة.
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan” maksudnya diagungkan “dan disebut nama-Nya di dalamnya” Yaitu dibacakan kitab-Nya di dalamnya. Rumah-rumah Allah adalah masjid-masjid, dan Allah telah memerintahkan untuk memuliakannya, menjaganya dari kotoran, najis, anak-anak, ingus (ludah), bawang putih, bawang merah, nasyid-nasyid dan syair di dalamnya, nyanyian dan tarian. Maka barang siapa yang bernyanyi di dalamnya atau menari dia adalah pelaku bid’ah sesat dan menyesatkan, dan berhak diberikan hukuman”. (hal, 275)