Cara Belajar Islam dengan benar itu tidak cukup hanya bermodalkan Google, melainkan membutuhkan sejumlah perangkat ilmu pengetahuan lain. Karena tidak mudahnya cara belajar Islam dengan benar, kita membutuhkan guru yang otoritas yang memiliki sanad keilmuan sampai pada Rasulullah S.A.W. Kita perlu belajar bagaimana cara ulama belajar Islam dengan benar
Salah satu perintah Allah melalui nabi Muhammad kepada kita semua adalah اقْرَأْ, membaca. Tentunya, kata iqra bukan hanya terbatas membaca teks tetapi juga tetapi juga mempelajari secara sungguh baik yang tertulis dalam teks maupun yang tidak tertulis.
Atas dasar inilah, di masa lampau, Islam pernah mengalami masa kejayaan di mana sejumlah ilmu pengetahuan dikaji, dipelajari dengan baik, sistematis dan mendalam. Bahkan, sejumlah penemuan, inovasi dan kreasi bermunculan di kalangan umat Islam.
Pada masa itu, al-Qur’an dibaca bukan sekedar untuk dihafal, bukan pula hanya untuk kegiatan khataman, tetapi al-Qur’an dijadikan inspirasi dan modal awal untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Baca juga: Apa Tantangan Millenial Belajar Islam?
Di era teknologi dan internet yang demikian massif ini, umat islam begitu sangat mudah mendapatkan informasi dan ilmu pengetahuan. Untuk bertanya tentang suatu hukum, kita biasanya lalu browsing melalui google dan youtube. Jika dulu, para ulama kita harus menempuh perjalanan yang demikian jauh untuk mencari ilmu pengetahuan, kini ilmu pengetahuan itu seakan berada dalam genggaman.
Namun demikian, di balik kemudahan mengakses dan mengkonsumsi informasi tersebut, ada potensi yang membahayakan dalam konteks memahami agama Islam.
Pertama, di era media sosial ini, siapapun dapat membuat konten secara bebas, termasuk konten yang berkaitan dengan Islam. Bahkan, karena atas asas kebebasan membuat konten tersebut, tidak jarang kita jumpai sejumlah konten yang salah, yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan hadist.
Kedua, di sisi lain, kemampuan literasi kita untuk memahami Islam dengan benar masih cukup lemah. Kita dengan mudah menerima dan mengikuti pendapat si A sembari menyalahkan pendapat si B. Hanya dengan modal bacaan satu ayat al-Qur’an dan satu hadist nabi seakan-akan kita merasa paling memahami Islam dengan benar.
Al-Qur’an adalah sumber utama ajaran Islam. Dari segi isi, tidak ada perubahan sedikitpun al-Qur’an di masa nabi dengan di masa sekarang. Namun, sebagaimana kita tahu, bahwa al-Qur’an baru dikodifikasi, disusun secara runut dimulai pada masa sahabat.
Di masa nabi, al-Qur’an hanya ditulis di dedaunan, kulit onta, kulit kayu, bebatuan, tulang-tulang dan lain sebagainya. Pada saat itu, al-Qur’an ditulis dengan tanpa harokat, tanpa titik dihuruf-huruf al-Qur’an seperti titik pada hurun qof, fa, ba, jim, dan lain sebagainya. Sekalipun tanpa harokat dan titik pada huruf-huruf al-Qur’an, para sahabat dapat membacanya dengan benar, karena masih ada para penghafal al-Qur’an.
Namun lambat laun, jumlah penghafal ini semakin berkurang karena wafat, terutama pada peperangan Yamamah, sementara Islam makin menyebar, timbul persoalan bagaimana cara membaca al-Qur’an, karena masih belum ada tanda baca sama sekali dalam al-Qur’an.
Sebagai contoh pada ayat tiga surat At-Taubah, saat itu ada orang yang membaca innalaha bariun minal musyrikina warasulih, yang seharusnya Innallaha bariun minal musyrikina warasuluh.
Apakah beda maknanya ketika harokatnya berbeda. Tentu saja sangat berbeda. Jika dibaca innaha bariun minal musyrikina warasulih, maka ia bermakna Sesungguhnya Allah lepas dari orang-orang musyrik dan Rasulnya, bagaimana mungkin Rasul disamakan dengan orang-orang Musyrik. Maka yang benar adalah Innalah bariun minal musyrikina warasuluh, yang berarti Allah dan Rasul-Nya lepas dari orang-orang musyrik.
Maka, Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib mempelopori lahirnya ilmu gramatika Arab, yang kemudian dilanjutkan oleh sahabat sekaligus muridnya Abu Aswad Ad-Duwali yang wafat pada tahun 69 H, yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya Nasr Ibn ‘Ashim (wafat 707 Masehi) dan Yahya Ibn Ya’mur (wafat 708 Masehi) yang hidup pada masa bani Umayyah, serta Imam Khalil bin Ahmad al-Faraidi yang wafat pada tahun 185 H.