Itu baru soal membaca al-Qur’an, belum sampai pada bagaimana memahami al-Qur’an. Memahami al-Qur’an tentu tidak cukup hanya membaca terjemah al-Qur’an, tetapi kita membutuhkan seperangkat ilmu pengetahuan mulai dari gramatika arab seperti Nahwu, Shorraf, ‘arudh, sampai pada kaidah-kaidah penafsiran.
Baca juga: Muslim Indonesia Menuju “New Normal”
Mengapa demikian? Karena al-Qur’an sebagai firman Allah yang suci, model dan sunanan ayatnya beragam. Ada ayat muhkamat, ada ayat mutasyahibat, ada mutlak ada muqayyad, ada ‘am ada khas.
Pertanyaannya, apakah memberikan titik pada huruf dan harokat pada al-Qur’an tidak menyalahi aturan syariat Islam karena tidak dicontohkan oleh Nabi? Tentu saja, tidak ada perintah dalam al-Qur’an maupun hadist yang menyuruh memberikan titik pada huruf al-Qur’an beserta harokatnya.
Namun, jika tanpa titik dan harokat tersebut, maka umat Islam akan memiliki banyak sekali versi bacaan yang berbeda-beda, yang sangat mungkin salah. Melihat kemungkinan madharat yang ditimbulkan itu, para ulama berinisiatif untuk memberikan tanda titik pada huruf-huruf arab serta harokat.
Narasi di atas untuk menggambarkan bahwa untuk memahami al-Qur’an tidakah mudah. Apalagi jika masuk ke dalam ayat-ayat al-Qur’an beserta kandungannya. Dalam al-Qur’an, ada ayat-ayat yang jelas (muhkamat) ada juga ayat-ayat yang butuh ta’wil dan tafsir (mustasyabihat).
Dalam al-Qur’an juga ada ayat-ayat yang bersifat umum (‘aam) ada ayat yang bersifat khusus (khash). Belum lagi soal bagaimana proses dan latar belakang turunnya ayat tersebut, yang berpengaruh terhadap pemaknaan al-Qur’an.
Baca juga: Pelajaran Agama Islam, untuk Apa?
Singkat kata, untuk memahami al-Qur’an membutuhkan ilmu. Hadist yang diriwayatkan oleh Tirmidzi menyebutkan bahwa Rasulullah berkata “barangsiapa yang berkata mengenai al-Qur’an tanpa ilmu makai a menyediakan tempanya sendiri di dalam neraka”.
Karena tidak mudahkanya memahami al-Qur’an, lahir sejumlah kitab tafsir, baik jenis tafsir yang sifatnya tahlili (penjabaran), ijmali (global), muqaran (perbandingan), maupun tafsir maudhui (tematik)
Karena itu, untuk memahami al-Qur’an, kita memerlukan seperangkat ilmu pengetahuan lain. Beberapa di antaranya:
- Ilmu mawathin al-Nuzul. Sebuah ilmu yang menjelaskan tentang tempat-tempat dan masa atau waktu turunnya ayat.
- Ilmu Tawarikh al-Nuzul, ilmu yang menjelaskan tentang masa dan tertib turunnya ayat al-Qur’an satu demi satu dari awal hingga akhir.
- Ilmu asbab al-Nuzul, ilmu yang menerangkan sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an.
- Ilmu Qiraat, adalah ilmu yang menjelaskan jeni-jenis bacaan al-Qur’an. Yang cukup shahih dan terkenal adalah tujuh jenis bacaan al-Qur’an (qiraat al-sab’ah).
- Ilmu tajwid, ilmu cara membaca al-Qur’an, awal dan tempat berhenti membaca, seperti idzhar, idzgham, ikhfa’ dan lain sebagainya.
- Ilmu gharib al-Qur’an, ilmu yang menerangkan makna-makna yang ganjil yang ada dalam ayat al-Qur’an, yang pada umumnya jarang muncul dalam percakapan orang Arab.
- Ilmu I’rabil Qur’an, yakni ilmu yang menjelaskan kedudukan kata dalam setiap ayat dalam al-Qur’an, apakah dibaca fathah, dhommah, kasroh dan lain sebagainya.
- Ilmu ma’rifat al-Muhkam wa al-mutasyabih, ilmu yang menjelaskan jenis-jenis ayat yang masuk kategori muhkam (ayat yang memiki makna jelas dan tidak memerlukan ayat lain untuk memahaminya) dan ayat yang masuk kategori mutasyabih, kebalikan dari muhkam.
- Ilmu tanasub ayat al-Qur’an, ilmu yang menjelaskan keterkaitan satu ayat dengan ayat lain dalam al-Qur’an, dan lain sebagainya.
- dan lain sebagainya
Karena sedemikian banyaknya ilmu memahami al-Qur’an, maka kita sebagai orang yang tidak mendalami ilmu tersebut, perlu mencari guru yang tepat sebagai tempat belajar dan bertanya terhadap hal-hal yang bukan keahlian kita. Sama seperti dalam ilmu bidang kedokteran. Untuk mengecek kesehatan badan kita, tentunya kita tidak bisa mendatangi sosiolog maupun antropolog, melainkan kepada dokter. Untuk memperbaiki motor kita yang rusak tentunya tidak bisa dibawa ke psikiater ataupun motivator, melainkan ke bengkel.
Begitu juga jika kita hendak belajar Islam, maka tidak ada pilihan lain, kita harus mendatangi dan bertanya kepada ulama, ustadz, kiai yang memiliki kompetensi keilmuan yang memadai.