Perbincangan tentang perempuan, khususnya feminisme senantiasa menjadi wacana yang aktual dan menemukan signifikansinya dalam ranah keindonesiaan. Berbagai forum, seminar dan diskusi-diskusi tentang perempuan menjadi minat banyak orang.
Menghangatnya diskursus disekitar perempuan paling tidak disebabkan karena, pertama; masih dijumpainya bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Melekatnya sistem patriarkhi dalam masyarakat secara tidak langsung membatasi ruang publik (public spare) bagi kaum perempuan.Kedua, dijadikan teks-teks klasik untuk melegitimasi dan mendominasi laki-laki atas perempuan diberbagai lini kehidupan. Tafsir terhadap teks suci yang bias gender selalu dipertahankan bahkan diyakini sebagai kebenaran mutlak. Hasil interpretasi diletakkan sama dengan teks (suci). Tafsir patriarkhi kitab-kitab kuning dari sejumlah ulama-ulama terdahulu masih bisa kita saksikan sampai sekarang.
Saat ini, perempuan mendapat perhatian yang cukup besar dari berbagai kalangan, termasuk dari kaum Adam. Upaya kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan adalah niscaya sebagai langkah pemberdayaan atas perempuan yang sudah lama tersubordinasi oleh sistem sosial. Pandangan superioritas atas laki-laki dan inferioritas atas perempuan harus benar-benar di musnahkan. Perempuan dan laki-laki adalah setara. Kaum hawa seharusnya mendapat tempat yang sejajar dengan laki-laki baik dalam dunia publik maupun domistik. Adanya kesadaran kesamaan (equality) hak antara laki-laki dan permpuan patut dipelihara secara baik.
Tidak jarang, teks-teks keagamaan juga ikut melegitimasi adanya sistem yang tidak adil kepada perempuan. Kitab-kitab klasik (kitab kuning) yang ditulis oleh ulama terdahulu tidak lepas dari bias gender. Literatur-literatur keagamaan yang berpihak kepada perempuan cukup minim, atau bahkan tidak ada. Perempuan ibaratnya barang yang harus kekang, dan menjadi obyek kajian semata. Mereka semuanya mendasarkan pendapatnya pada al-Quran dan hadits nabi, sehingga al-Quran terkadang juga dituding sebagai kitab yang melanggengkan ketidakadilan terhadap perempuan. Ironisnya, pernyataan-pertanyaan ulama klasik tersebut dibenarkan secara mutlak oleh sebagian kalangan. Hukum-hukum fiqhiyah yangsifatnya dhanny (relatif) diposisikan sama dengan al-Quran yang sifatnya qathi’I (pasti). Sangat jarang dilakukan kajian-kajian kritis terhadapnya dan sekaligus melakukan interpretasi ulang terhadap sumber primernya, yaitu al-Quran dan hadits.
Untuk memahami teks masa silam, Menurut Schleiemarcher seseorang harus keluar dari masanya, masa sekarang, munuju masa lampau dimana pengarangnya menuangkan karyanya dan – menurut Dilthey (1833-1911 M) – harus memahami subyektif (psikologi) pengarang dalam menghayati peristiwa yang terjadi masa itu. Seseorang hendaknya berupaya mengandaikan dirinya (interpretator) sanggup melepaskan situasi historisnya dan berpindah kezaman lain. Inilah yang disebut Gadamer sebagai Romantic Hermeneutic.
Al-Quran sebagai kitab suci umat islam tidak turun pada ruang hampa. Antara Quran dengan realitas sosial berdialektika secara terus menerus. Maka, dari itu untuk memahami pesan-pesan Tuhan yang terkandung dalam al-Quran niscaya melibatkan kondisi obyektif dimana turunnya sebuah teks suci tersebut. Teks menurut Gadamer adalah bersifat terbuka, dan setiap orang mempunyai hak untuk menginterpretasikannya, karena ketika teks diturunkan dan dipublikasikan berarti teks tersebut milik semua orang, tidak hanya milik pengarang aslinya. Ada keterkaitan antara the world of texs dengan the world of author dan the world of audience.
****
Terlepas dari itu semua, perempuan dimasa yang akan datang benar-benar ditantang untuk tidak hanya berbicara kesetaraan gender, melainkan juga tampil ke khalayak publik. Perempuan dengan sifat keibuannya, lemah lembut, sungguh akan menjadi harapan dalam menyelesaikan kemelut bangsa yang selama ini memanas. Dalam konteks Indonesia, peran perempuan menjadi sangat vital ketika melihat kerapnya kekerasan, pemerasan dan penindasan. Dengan tampilnya sosok Megawati menjadi Presiden Indonesia– walaupun dari sebagian kalangan pernah mengharamkanya sebagai orang nomor satu di negeri ini dengan berbagai dalih, termasuk agama (islam) – sebagai referensi sejarah bahwa Indonesia pernah di pimpin oleh seorang perempuan.
Akan tetapi sampai sekarang belum dsijumpai seorang ulama perempuan. Pesantren yang merupakan basis pembibitan seorang ulama belum bisa mencetak seorang ulama perempuan yang handal. Meski pendidikan pesantren telah terselenggara beberapa abad, namun baru tahun 1940-an perempuan boleh mengenyam pendidikan pesantren. Menurut Direktur Yayasan Rahima Syafiq Hasyim mengatakan bahwa pada generasi Kiai Bisri Samsuri, pesantren bisa menerima perempuan sebagai santri (Kompas, 09/09/2002)
Kendatipun demikian, sistem pengajaran bagi santri putra dengan santri putri di Pesantren masih saja diskriminatif. Karena santri putra sebagai penerus nabi dan ulama (kiai), maka merekalah yang menjadi prioritas perhatian pesantren. Sekalipun sama-sama belajar ilmu agama, perempuan hanya diarahkan untuk menghafal, tidak memahami. Karena faktor inilah menjadi pangkal minimnya jumlah perempuan yang memiliki penegtahuan agama secara mendalam sebagaimana halnya santri putra.