Padahal salah satu ikhtiar untuk kesetaraan gender ialah harus melalui pendidikan yang mencerdaskan. Pendidikan nasional, khususnya pesantren-pesantren tidak bisa menghasilkan output yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pesantren-pesantren Indonesia yang selama ini disebut sebagai kelompok konsevatif, primitif dan jumud, belum bisa mampu bersaing dengan pendidikan formal seperti perguruan-perguruan tinggi. Hampir semua pesantren yang terbentang di Nusatara ini masih memandang sebelah mata terhadap perempuan. Posisi kaum perempuan dalam pesantren hanya sebagai pelengkap bagi pesantren. Transformasi ilmu pengetahuan dalam pesantren menjadi tidak merata, dan cenderung diskriminatif.
Barangkali saat ini, hanya di Pondok Pesantren Salafiyah Syai’iyah Sukorejo baru merintis pembibitan ulama perempuan. Di pondok yang di asuh oleh KH. Fawaid As’ad itulah didirikan Ma’had ‘Aly bagi perempuan, walaupun baru di buka pada tahun 2000, walaupun dalam jumlah yang kecil. Sebab, untuk memasuki Ma’had Aly harus lulus seleksi yang sangat ketat. Tidak sembarang orang bisa memasuki Pendidikan Tinggi tersebut. Hanya orang-orang yang mampu membaca dan memahami kitab Fathul Mu’in, Jam’ul Jawami’, yang menurut standar pondok relatif tidak gampang, bisa menempuh Pendidikan tertinggi tersebut.
Geliat intelektual santri Ma’had Aly Putri yang dituangkan pada bulettin Al-Hurriyah yang terbit seminggu sekali dengan tema sentral seputar perempuan cukup membanggakan masa depan perempuan, sekalipun dalam jumlah santrinya yang tidak sampai tiga puluh-an. Mereka mengkaji berbagai kitab kuning yang selama ini dipandang sebagai kitab yang diskriminatif kajian-kajian kritis terhadap teks klasik tersebut seringkali mengundang kontroversi dikalangan santri lainnya, apalagi bagi kalangan awam. Misalnya ia pernah menggugat konsep poligami, hukum waris yang dianggapnya bias gender.
Ma’had ‘Aly Putri Sukorejo dengan titik kajiannya pada Ushul Fiqh (disamping juga diperkaya oleh disiplin ilmu lainnya seperti hermeneutika, filsafat dan lain-lain) ini menjadi tumpuan harapan bagi munculnya benih-benih intelektual atau ulama perempuan dimasa-masa yang akan datang. Dengan pisau analisis Ushul Fiqh, mereka bisa menghadirkan tafsir baru terhadap Al-Quran dan Hadist yang sama sekali berbeda dengan tafsir-tafsir masa klasik. Sebuah tafsir Quran untuk perempuan menjadi sangat urgent dan vital dalam melakukan upaya-upaya pemberdayaan terhadap kaum hawa, atau minimal memberikan perspektif baru magi wacara emansipasi. Al-Quran yang beberapa tahun silam selalu ditafsirkan oleh kalangan laki-laki, sudah saatnyalah perempuan menafsirkan sendiri sesuai dengan perspektifnya. “Aku mengidamkan agar kaum perempuan belajar menilai apa pun dengan cara pandang mereka sendiri dan bukan melalusi mata laki-laki”. Kata Annie Leclerc.
***
Atas hal itu, perempuan harus memulai membangun wacana baru yang mampu membongkar institusi-institusi sosial yang patriarkhi. Untuk keluar dari teks keagamaan yang bias gender itu, meniscayakan adanya dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap teks klasik sekaligus membuat penafsiran baru dan istimbatul ahkam yang sama sekali baru pula. Sikap kritis-konstruktif merupakan kunci awal untuk melakukan pembongrakan-pembongkaran terhadap teks keagamaan yang menurut sebagian kalangan (konservatif) dianggapnya absolut dan sakral.
Dengan munculnya calon-calon ulama perempuan di Indonesia ini sebagai salah satu indikator awal akan terbebasnya perempuan dari belenggu penindasan dan ketidakadilan. Pengertian ulama sebagai penerus Nabi (al-‘ulama’u waratsatul ambiya’) tidak hanya tertentu bagi kaum laki-laki. Perempaun yang seringkali hanya ditempatkan di dalam rumah, sudah saatnya tampil ke ruang publik untuk mengayomi seluruh umat, baik laki-laki maupun perempuan. Pada biasanya, laki-laki dengan sifat keperkasaannya menjadi ulama atau pimpinana agama, sehingga tida jarang ia anarkis dan destruktif. Dengan demikian, kehadiran ulama perempuan menjadi sungguh dinantikan oleh seluruh umat manusia.
Walhasil, ulama perempuan inilah yang akan menjadi garda depan dalam melakukan perubahan-perubahan sosial yang progresif kearah yang lebih mencerahkan serta dalam pemberdayaan dan memperjuangkan hak-hak perempuan yang tidak jarang diabaikan. Antara perempuan tidak ada perbedaan yang subtansial dan fundamental. Baik perempuan ataupun laki-laki sama-sama berhak dan mempunyai peluang yang sama untuk menjadi pewaris dan meneladani Nabi Muhamad. Sejaumana derajat ketaqwaannyalah yang menjadi perbedaan diantara keduanya. Yang berhak menjadi ulama adalah hanya orang-orang yang patut menjadi uswah dan bisa menyejahterakan umatnya.@
Sumber: Duta Masyarakat, 2003