Entitas adanya umat manusia di dunia merupakan hal yang tidak boleh dibantah. Perbedaan agama, suku, warna kulit, dan bahasa adalah suatu keniscayaan. Dalam Islam, percaya adanya Sang Maha Pencipta.
Adanya Sang Maha Pencipta, bukti fungsi dari apa itu sifat ‘wujūd’. Perlu diketahui bahwa sesungguhnya wujūd itu ada dua;
Pertama. Wujudnya Allah, Sang Maha Pencipta atau al-H̱āliq. Dzat yang wajib disembah oleh wujud yang ke dua. Kedua, yaitu wujudnya makhluq atau dzat yang diciptakan, yakni wujud alam semesta ini dengan segala isinya.
Di dalam makhluq ada yang disebut manusia. Menurut Alquran bahwa manusia disebut al-Basyar, yaitu manusia yang bersifat fisik dengan kelengkapan panca indranya. Lalu manusia juga disebut al-Insān atau makhluq psikologis yang kadang bahagia dan kadang resah, kadang gembira dan kadang sedih, kadang senang dan kadang juga terjadi kegundahan, begitulah jiwa manusia.
Kata insan diambil dari kata bahasa Arab, nasiya – yansa yang artinya lupa, atau ‘uns yang artinya mesra, juga dari kata nasa – yanusu yang artinya bergejolak. Jadi, manusia pada dasarnya adalah makhluq yang memiliki tabi’at mesra, tetapi sering lupa, dan memiliki gejolak keinginan yang tak pernah berhenti.
Selagi manusia dalam keadaan lupa diri dan dalam pengaruh gejolak jiwa dan keinginannya, maka manusia tidak dapat merasakan ketenangan dan ketentraman hidup. Maka manusia dalam kehidupannya akan selalu mencari ketenangan, kenyamanan, ketentraman, keharmonisan, dan kedamaian dalam hidupnya. Baik di lingkungan keluarga maupun kehidupan berbangsa.
Mengutip perkataan guru besar Ilmu Psikologi Islam UIN Jakarta, Achmad Mubarok, “Dari keluarga sakinah hingga keluarga bangsa”. Secara implisit, dapat dimaknai sebagai kedamaian suatu negara karena telah terbentuk masyarakatnya hidup rukun dari masing-masing keluarga yang harmonis dan tentram. Istilah ini menurut bahasa Arab disebut sebagai usratun sa’īdah atau keluarga bahagia.
Dengan demikian, tentulah manusia harus senantiasa berusaha menjadikan jiwanya ke dalam kondisi jiwa yang tenang, jiwa yang muṭmainnah, suatu kehidupan yang mendapatkan ridho Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Fajr:
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhan-mu dengan hati yang ridho dan diridhoi oleh Allah, maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku (hamba-hamba Allah), dan masuklah ke dalam Surga-Ku.” [Q.S al-Fajr: 27-30]
Jiwa yang tenang atau nafsu muṭmainnah juga berkaitan dengan kehidupan dalam keluarga dan kehidupan bersama umat manusia, bahkan jiwa yang tenang berkaitan dengan keharmonisan kehidupan bernegara. Bila negara aman tentu kita akan dapat beribadah dengan khusyu’, tenang, dan nyaman.
Fi As-Silmi Kāffah
Saat ini, suasana bangsa kita dalam keadaan tenang, tentram, kondusif, harmonis, dan damai. Tugas kita adalah keep and preserve (jaga dan melestarikan) kondisi tersebut, seraya menahkikkan diri agar tidak terjebak dalam pusaran permusuhan dan kebencian. Sebab kita sama sekali tidak berharap negara kita masuk ke dalam pusaran konflik atau perseteruan. Ukhuwah Islamiyah, ukhuwah basyariyah dan ukhuwah waṭaniyah benar-benar kita buktikan sebagai perekat kehidupan dan keseharian kita semua.
Kita harus bisa menjaga persaudaraan hidup sesama umat Islam dan harus menjaga persaudaraan hidup sesama umat manusia. Maka dari itu, kita akan dapat menegakkan persaudaraan kehidupan berbangsa. Kita harus menjaga toleransi kehidupan bersama di dalam bernegara.
Di Indonesia, kondisi hidup ditengah masyarakat yang pluralistik, maka tentulah kita harus sepakat memahami pluralisme dalam kehidupan ini, memahami perbedaan yang dapat menumbuhkan kepada kita rasa saling menghargai dan saling menghormati. Karena itu, apabila terdengar orang yang mengesankan Islam sebagai agama radikal dan anti perdamaian, itu hanya akibat pemahaman yang keliru dan belum mengerti sejatinya Islam itu adalah agama yang ramah dan mencintai kedamaian, Islam benar-benar agama yang menjunjung tinggi toleransi, baik terhadap sesama muslim maupun kepada seluruh umat manusia.
Banyak ayat dan hadis yang menyatakan tentang hal itu. Bahkan, nama Islam itu sendiri sejatinya berarti ‘damai’, ‘selamat’, ‘kepasrahan’, kepatuhan terhadap syari’at dan hukum-hukum Allah SWT. Seperti dalam firman Allah:
“Masuklah kalian ke dalam Islam, ke dalam prilaku damai, ke dalam kepasrahan, ke dalam ruang keselamatan secara keseluruhan, secara totalitas.” [Q.S. al-Baqarah: 208].
Merujuk kepada maksud ayat diatas, —tentu jika saja kita mengacu kepada Islam yang berarti ‘damai’ atau ‘selamat’— maka arti ayat tersebut kurang lebih berbunyi, “Masuklah kalian ke dalam kedamaian secara keseluruhan” atau “Masuklah kalian ke dalam keselamatan secara totalitas.”
Hal ini artinya, tatkala seorang mendeklarasikan dengan menyatakan dirinya memeluk Islam, maka dia harus siap menjalankan konsekuensi keislamannya, yaitu menciptakan kedamaian dan keselamatan. Damai dalam pengertian kewajiban bersama yang harus dilakukan umat Islam; dan selamat dalam pengertian untuk orang lain sesama umat manusia, mereka juga harus selamat dari segala bentuk kekerasan, penindasan, penghinaan, penganiayaan dan seterusnya.
Ayat tersebut dengan sangat jelas mengisyaratkan bahwa umat Islam harus totalitas menjaga kedamaian dan keselamatan kehidupan bersama di dunia ini. Bukan saja memberikan rasa damai kepada golongan tertentu atau kepada orang yang seakidah saja, melainkan juga kepada sesama manusia, bahkan seluruh alam atas dasar kasih sayang dan saling mencintai.
Mari perhatikan kembali ayat Alquran yang berbunyi: