Sejarah mencatat bahwa pesantren, dengan model dan sikapnya yang demokratis-egaliter, menjadikannya sebagai lembaga yang banyak diminati oleh masyarakat. Bahkan, di masa awal berdirinya pesantren, masyarakat secara sukarela dan berbondong-bondong mendatanginya guna untuk memeluk agama Islam.
Sebagai orang yang dilahirkan dari rahim pesantren dan keluarga yang taat beragama, yang termasuk cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari dan putra dari Menteri Agama Pertama pada masa pemerintahan Orde Lama (Soekarno), KH Wahid Hasyim, adalah laku hidupnya yang acapkali mencerminkan sosok seorang santri tulen atau agamawan sejati. Walaupun ia berada dalam situasi dan kondisi yang berbeda.
Ini artinya, tempaan pendidikan keluarga dan lingkungan pesantren (tempat Gus Dur dibesarkan) serta model pendidikan pesantren yang demokratis-egaliter itu, mengantarkan Gus Dur menjadi sosok yang memiliki pemahaman keagamaan yang kuat, selain memiliki kepribadian luhur. Dengan bermodalkan pengetahuan keagamaan yang mendalam, terutama pemahaman akan Islam sebagai Rahmat bagi seluruh Alam semesta (Rahmatan Lil Alamin) menjadikan Gus Dur sosok yang memiliki sikap toleransi kuat, dan bahkan beliau telah menerapkan dan mengamalkannya dalam kehidupan nyata.
Kedekatannya dengan umat dan para pemuka agama, baik Islam maupun non-Muslim adalah salah satu wujud konkret Gus Dur. Juga keberpihakannya terhadap kelompok minoritas, ter-marginalkan, rasa toleransi dan penghormatannya terhadap agama dan keyakinan yang berbeda dengan Gus Dur. Ke-semuanya ini menunjukkan bahwa betapa percaya dirinya Gus Dur akan ajaran agama yang diyakininya. Ini juga sebagai bukti konkret bahwa dirinya sebagai sosok seorang tokoh humanis sejati. Maka tidak mengherankan, apabila Gus Dur banyak dihormati dan disegani oleh banyak orang. Bukan hanya umat Islam, melainkan juga non-Muslim.
Kedua, Gus Dur seorang negarawan sejati. Walaupun masa pemerintahan Gus Dur tak bertahan lama, tetapi ia telah banyak menorehkan prestasi yang gemilang dengan melakukan terobosan-terobosan dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini. Demokrasi dan kesetaraan (egalitarian), terutama dalam bidang hak-hak sosial dan politik warga negara, adalah prioritas utama. Sehingga, sekat-sekat diskriminasi dan kebebasan yang sudah lama mati Gus Dur buka kembali.
Tentu saja, ini menjadi angin segar bagi kelompok minoritas yang pada awalnya dimarginalkan. Namun setelah Gus Dur menjabat Presiden, mereka memiliki kesempatan untuk turut serta memutuskan jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini merupakan langkah yang tepat bagi seorang Gus Dur guna menghindarkan gerakan separatisme yang mulai bermunculan kala itu. Juga, kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkebudayaan beliau beri ruang untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan keberagaman bangsa Indonesia.