HAK-hak sosial adalah apapun yang dibutuhkan manusia untuk menunjang kehidupannya berupa mata pencaharian, sarana-sarana kesehatan dan sosialnya. Hak-hak sosial seperti ini sebetulnya belum mendapatkan perhatian dalam undang-undang kenegaraan dan teks-teks HAM di Barat kecuali di masa-masa terakhir karena adanya tekanan dari teori-teori sosialisme dan organisasi-organisasi perserikatan, juga untuk menghilangkan pengaruh-pengaruh gerakan revolusi marxisme.
Sementara dalam perspektif Islam, hak-hak sosial tersebut dipandang sebagai pondasi bagi hubungan-hubungan sosial dan diterapkan dengan tujuan untuk merealisasikan egalitarianisme, keadilan, dan musyawarah di dalam kehidupan manusia. Di antara hak yang dipandang sangat penting oleh Islam dan harus mendapatkan porsi perhatian yang cukup di dalam undang-undang kenegaraan adalah sebagai berikut:
Hak untuk Bekerja
Di dalam salah satu karyanya, al-Dîmuqrâthîyyah fî al-Islâm, Abbas Mahmud al-Aqqad menyimpulkan bahwa Islam menjadikan ruang usaha dengan cara-cara yang tidak legal, seperti menipu, mencuri, riba, monopoli, dan menimbun harta, sehingga sarana-sarana usaha benar-benar bermanfaat bagi semua orang. Selain itu, Islam memuliakan pekerjaan, sangat menganjurkannya dan menganggapnya sebagai sumber dasar bagi kepemilikan.[1] Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya,” [QS. al-Mulk: 15]. Di ayat lain Dia berfirman, “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah,” [QS. al-Jumu’ah: 10]. Hal ini diperkuat dengan sebuah hadits dari Nabi Saw. yang menyebutkan, “Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari memakan makanan hasil kerja tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi Dawud as. makan dari hasil pekerjaan tangannya sendiri,” [HR. al-Thabrani].
Di samping menganjurkan pekerjaan dan memuliakannya, Islam juga melarang pengangguran, hidup bergantung kepada orang lain, serta mencela keadaan hidup menghina-hinakan diri sendiri di hadapan orang lain. Pekerjaan yang baik, apapun jenisnya, bisa menjadi hiasan bagi orang mukmin dan tidak membuatnya kotor, bisa menjadi kemuliaan baginya dan tidak membuatnya terhina. Sangat tidak pantas orang berbicara atas nama kemuliaan Islam sementara ia mengulurkan tangannya untuk meminta-minta kepada selain Penciptanya. Mengemis-ngemis di depan pintu masjid serta di pinggir-pinggir jalan jelas merupakan penghinaan terhadap budaya pendidikan dalam Islam dan merusak kehormatan diri sendiri dan masyarakat. Mencari rizki dengan cara tahayul, meminjam (berhutang)—meskipun dengan niat akan dibayar—, dan mengemis, saat ini sedang marak di tengah-tengah masyarakat. Lebih parah lagi, tidak jarang orang muslim menggadaikan kehormatan dan kebebasannya dengan meminta bantuan dana dari negara-negara luar, baik barat atau timur.
Mestinya, negara berkewajiban menyediakan lapangan-lapangan pekerjaan bagi siapapun dari warganya yang memiliki kemampuan. Tugas negara bukan sebatas menjaga perbatasan dan membela kepentingan kelompok, tetapi yang paling penting dan paling mendasar adalah menegakkan keadilan. Negara memang harus menjamin kesejahteraan masyarakat; menyediakan makanan, tempat tinggal, pakaian, dan obat-obatan. Namun, yang lebih penting dan lebih utama dari itu adalah—sekali lagi—menyediakan lapangan-lapangan pekerjaan berikut fasilitas-fasilitas yang memadai. Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. ketika beliau menganjurkan umat Muslim di zamannya untuk giat bekerja, dan menyediakan berbagai fasilitas untuk kepentingan itu bagi siapapun yang membutuhkan. Tidak hanya itu, beliau juga melakukan pengawasan terhadap aktivitas mereka sampai beliau benar-benar merasa yakin bahwa mereka bisa percaya diri dan berhasil dalam pekerjaan yang mereka upayakan.
Zakat, yang disyariatkan oleh agama, bukan merupakan jaminan sosial terpenting di dalam negara Muslim yang diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan dan membuat mereka senantiasa mengulurkan tangan untuk mendapatkannya selama hidup. Tidak demikian maksudnya! Zakat tidak diberikan kecuali pada saat-saat yang sangat mendesak. Mestinya, yang perlu diberikan kepada mereka, sesuai dengan keadaan dan kapasitas masing-masing, adalah lapangan-lapangan pekerjaan serta berbagai fasilitasnya (tempat kerja, pabrik-pabrik, tanah, atau modal usaha). Dalam hal ini, lembaga zakat bisa membantu mereka, lalu menasihati mereka agar bekerja secara mandiri dan seperti yang lain dapat bergerak aktif di pasaran, sampai akhirnya mereka menjadi pemberi zakat, bukan penerima zakat.[2]
Hak Layanan Kesehatan
Hak-hak sosial lain yang perlu mendapatkan perhatian dari negara bagi warganya adalah layanan kesehatan. Rasulullah Saw., seperti diketahui sangat memperhatikan apa yang saat ini disebut ‘kedokteran preventif’ berupa kebersihan dan keseimbangan hidup, yaitu dengan menjaga diri dari berbagai macam najis atau kotoran, hal-hal yang memabukkan, serta berbagai bentuk pemborosan dan kerusakan. Beliau menyeru umat Muslim untuk menjadi orang-orang yang kuat, bukan orang-orang yang lemah, seperti yang terlihat di dalam sabda beliau, “Orang mukmin yang kuat lebih baik daripada orang mukmin yang lemah. Dan pada keduanya terdapat kebaikan,” [HR. Muslim].