Sampai saat ini kelompok islamis di Indonesia masih belum bisa lepas dari romantisme lama yang mengidamkan terbentuknya negara khilafah sebagaimana terjadi di dunia Islam masa lampau. Hal yang disayangkan, mereka tidak melakukan kroscek lebih luas terkait khilafah yang selalu dinamis sebagaimana terjadi mulai dari kepemimpinan pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW. hingga empat khalifah setelahnya.
Setelah Nabi Muhammad SAW. wafat, kepemimpinan umat Islam diambil alih oleh para sahabat dekatnya sampai empat kali yang terakhir sayyidina Ali bin Abi Thalib yang menggunakan sistem demokrasi dalam pemilihan. Di era mereka itu Islam dijalankan sangat egaliter dalam konteks hukum syariat maupun sistem politik. Kemudian setelah itu, kepemimpinan disambung oleh Muawiyah dengan mendirikan kerajaan Bani Umaiyah.
Perlu diingat mulai dari bani Umaiyah inilah sistem dinasti dibangun, dan perlu diingat kembali bahwa Muawiyah merebut kepemimpinan menggunakan strategi yang cukup sengit terhadap sayyidina Ali, sang menantu Nabi Muhammad sekaligus ayahanda dari para Habaib. Di tengah-tengah perseteruan politik Khilafah inilah sayyidina Ali juga terbunuh dan disusul oleh kedua putranya.
Cerminan yang digadang-gadang sebagai argumentasi dasar adalah praktik kepemimpinan khilafah sepanjang masa pasca empat sahabat Nabi, baik dari dinasti bani Umaiyah, Abbasiyah, Fatimiyyah hingga Ottoman. Tanpa memberikan kritik terhadap praktik kekhilafahan dan juga sumber-sumber argumentasi keagamaan yang digunakan. Sehingga bayangan mereka terhadap sistem kekhalifahan masih kabur.
Hal yang penting dicatat adalah patronase antara ulama dan umara sebagai simbol hadirnya islamisasi terhadap pemerintahan atau pemerintahan yang Islam. Para sejarawan mencatat bahwa terjadinya persekutuan antara agama dan negara (baina al-din wa al-daulah) mulai terjadi pada abad 11. Transformasi ini sekaligus menandakan masifnya patronase para intelektual muslim yang menjadi abdi negara melalui madrasah dan kampus yang dikelola oleh negara serta dilakukan peminggiran terhadap para filsuf dan pedagang.
Al-Ahkam al-Sulthaniyah karya al-Mawardi (971-1058) adalah salah satu buku yang dahulu digunakan sebagai kontribusi penting memperkuat kepemimpinan Khalifah dari dinasti Abbasiyah, saat dikendalikan oleh Qaim. Buku ini dahulu sangat berpengaruh dalam menghubungkan hukum Islam dengan pemikiran politik dan mempromosikan pandangan Islam yang negarasentris atau sering disebut al-Islam dinun wa daulah.
Dalam buku itu, ditegaskan bahwa tugas Khalifah tidak hanya mengendalikan sistem politik, tetapi juga berhak menjadi hakim, pemimpin ibadah dan pengawas moralitas publik (al-Mawardi, 1996). Menurut Inggrid Mattson, buku al-Mawardi tersebut sebenarnya hanya ditulis untuk mengabdi kepada sang khalifah yang memiliki tujuan untuk memperkokoh peranan khalifah di era itu.
Gagasan yang sama juga ditulis oleh al-Ghazali (w. 1111 M) di dalam salah satu karya monumentalnya Ihya’ ‘Ulum al-Din yang di dalamnya terdapat pernyataan al-Ghazali tentang hubungan antara kekuasaan dan agama adalah saudara kembar. Kalimat tersebut sangat populer hingga saat ini. Bahkan ada yang menganggap kalimat yang dikutip oleh al-Ghazali itu adalah hadis Nabi (Rosental, 1958).
Padahal yang ditulis oleh al-Ghazali itu bukanlah hadis Nabi melainkan pepatah yang sudah sangat terkenal di Persia Sasaniyah. Hal ini pernah diungkap oleh sejarawan Arab, al-Mas’udi, bahwa pernyataan itu adalah wasiat dari salah satu pendiri kerajaan Sasaniyah pada abad ke 3 M dan pernah diterjemahkan ke bahasa Arab pada abad 8 M. Intinya, kalimat yang mengatakan bahwa agama dan negara adalah saudara kembar bukanlah dari ajaran Islam melainkan wasiat dari raja Sasaniyah. Masihkah mengidolakan negara Islam sebagai esensi dari Islam?
Baca Juga: Mengenal Istilah Penting Seputar Khalifah dan Khilafah