Kamis, Agustus 21, 2025
  • Login
  • Register
islamina.id
  • Beranda
  • Kabar
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Video
  • Bulletin
    • Bulletin Islamina
    • Bulletin Jumat
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Video
  • Bulletin
    • Bulletin Islamina
    • Bulletin Jumat
No Result
View All Result
islamina.id
No Result
View All Result
Home Kajian
Hak Hak Sosial dalam Islam

Hak Hak Sosial dalam Islam

Hak-Hak Sosial dalam Islam (2)

Roland Gunawan by Roland Gunawan
05/01/2022
in Kajian, Tajuk Utama
5 0
0
5
SHARES
98
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WAShare on Telegram

Hak Membangun Keluarga

Salah satu hak sosial yang ditekankan oleh Islam adalah hak membangun keluarga. Bagaimanapun, perkawinan adalah bagian dari hukum alam. Dan bagi orang-orang mukmin, perkawinan termasuk ibadah yang setara separuh agama ditinjau dari sisi pengaruh berupa keseimbangan kepribadian dan perkembangannya, serta merupakan bingkai tak tergantikan untuk menjaga keberlangsungan kehidupan manusia dan pertumbuhannya. Untuk itu, Islam sangat memperhatikan institusi perkawinan dengan menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing pihak—laki-laki dan perempuan—atas dasar equalitas dan integralitas.

Perkawinan merupakan perjanjian yang mulia, komitmen yang kokoh, dan institusi agung dengan ikatan-ikatan sangat rumit dan berkelindan. Islam membangunnya berdasarkan kerelaan, saling menghormati, dan spirit kemanusiaan mendalam, seperti keimanan, keihsanan, kesabaran, cinta-kasih sayang, dan keadilan. Melalui perkawinan ini Islam sebenarnya bertujuan menghilangkan sekat-sekat rasialisme yang menjadi penghalang utama bagi manusia untuk menjalin hubungan kerjasama (saling tolong-menolong), kerukunan, dan kekerabatan.

BacaJuga

Dekonstruksi “Rezim Kebenaran” di Era Digital (2) : Menunda Kebenaran, Meluaskan Perspektif

Dekonstruksi “Rezim Kebenaran” di Era Digital (1) : Bagaimana Cara Anak Muda Menyelamatkan Akal Sehatnya

Menuju Kematangan Hubungan Umat Beragama : Catatan Akhir Tahun

Dengan adanya perkawinan, Islam bermaksud mengembalikan manusia kepada inti kemanusiaannya yang satu sebagaimana di awal proses penciptaannya, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari satu jiwa,” [QS. al-Nisa`: 1]. Melihat kedudukan perkawinan yang sedemikian mulia itu, makanya Islam sangat menganjurkan dan bahkan—di banyak keadaan—mewajibkannya. Dan negara, sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas kesejahteraan masyarakat, harus memfasilitasi dan memberikan jalan kemudahan.

Orang muslim mempunyai hak penuh membangun keluarga dan memilih pasangan hidupnya, bahkan bisa menjadi wajib baginya untuk menghindari fitnah. Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang punya kemampuan, hendaknya ia kawin,” [HR. al-Bukhari]. Karena sebagai hak, maka masyarakat tidak boleh mempersulit laki-laki dan perempuan untuk melanggengkan hubungan keduanya dalam sebuah biduk perkawinan bila keduanya sudah mencapai usia dewasa.

Di sisi lain, sehubungan dengan kesejahteraan keluarga, Islam mewajibkan untuk memberikan pelayanan kepada ibu dan bayinya. Sayyidina Umar ibn al-Khatthab ra., semasa menjadi khalifah, secara khusus menyediakan nafkah untuk bayi yang disusui dan ibunya, seperti disinggung di dalam al-Qur`an. Dan itu merupakan dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sehat nan kuat.

Hak untuk Belajar dan Mendapatkan Pendidikan

Islam sangat menganjurkan umat Muslim untuk mencari ilmu. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Islam adalah agama yang pertama kali secara tegas mengatakan tentang kewajiban mencari ilmu, “Ilmu itu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan,” [HR. Ibn Majah]. Para ulama, orang-orang yang berilmu, mempunyai kedudukan mulia di dalam Islam. Orang-orang bodoh harus belajar, sedangkan orang-orang berilmu harus mengajar. Dan negara harus bisa menciptakan suasana yang kondusif dan menyediakan sarana-sarana yang memadai proses belajar-mengajar dapat berjalan dengan baik.

Peradaban Islam datang untuk mengewantahkan prinsip “ilmu adalah wajib” di dalam realitas. Sebagian penulis sejarah peradaban melihat bahwa Cordoba—misalnya—merupakan kota pertama dalam Islam yang berhasil menghapuskan ‘buta huruf’.[1] Keberhasilan itu tidak menjadi beban bagi keseimbangan negara. Dan kebudayaan Islam yang mengaitkan antara ilmu dan iman, dunia dan akhirat, berdasarkan prinsip bahwa manusia merupakan khalifah, bertanggungjawab mendirikan lembaga-lembaga keilmuan masyarakat dan mendanainya dari badan-badan wakaf negara.

Meskipun begitu, lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran berdiri secara independen terlepas dari campur-tangan negara dan dipandang sebagai bagian dari struktur masyarakat madani dilihat dari sisi bahwa pendidikan dalam Islam tidak hanya diperuntukkan bagi anak-anak di usia dini, tetapi juga untuk masyarakat secara keseluruhan tanpa terkecuali, dan bahwa pengajaran paling mendasar tidak hanya terbatas pada tiga keahlian: membaca, menulis, dan menghitung, tetapi juga mencakup bidang nilai-nilai dan pengembangannya. Karena, apapun alasannya, ilmu sama sekali tidak akan bermakna tanpa disertai dengan amal saleh (perbuatan baik) untuk menunjang kemajuan individu dan komunitas masyarakat, juga untuk meraih kebahagiaan dunia-akhirat melalui pemanfaatan dan pengembangan potensi-potensi material dan spiritual, baik pada anak-anak kecil maupun orang-orang dewasa, laki-laki maupun perempuan, selaras dengan manhaj ilahi untuk menggapai kemenangan dengan ridha-Nya.[2]

Hak Jaminan Sosial

Islam membangun masyarakatnya atas dasar persaudaraan, persamaan, keadilan, kerjasama, solidaritas, dan mendahulukan kepentingan orang lain. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara,” [QS. al-Hujurat: 10]. Sebuah hadits dari Rasulullah Saw. menyebutkan, “Orang muslim adalah saudara bagi orang muslim yang lainnya; ia tidak menzhaliminya, mengkhianatinya, dan menelantarkannya,” [HR. al-Bukhari]. Memaknai hadits ini, Ibn Hazm mengatakan, “Orang yang membiarkan saudaranya kelaparan dan telanjang (tidak punya pakaian) sementara ia mampu memberinya pakaian dan makanan, maka ia telah menelantarkannya.”

Page 1 of 2
12Next
Tags: Hak dalam IslamHak SosialJaminan SosialKeluarga IslamPendidikan
Previous Post

Hak-Hak Sosial dalam Islam (1)

Next Post

Saat Istri Haid, Islam Melarang Suami Berhubungan Badan

Roland Gunawan

Roland Gunawan

Wakil Ketua LBM PWNU DKI Jakarta

RelatedPosts

dekonstruksi di era digital
Kajian

Dekonstruksi “Rezim Kebenaran” di Era Digital (2) : Menunda Kebenaran, Meluaskan Perspektif

26/07/2025
Peran Media Sosial Dalam Mewujudkan Siswa Toleran
Kajian

Dekonstruksi “Rezim Kebenaran” di Era Digital (1) : Bagaimana Cara Anak Muda Menyelamatkan Akal Sehatnya

22/07/2025
edisi desember 2024
Bulletin

Menuju Kematangan Hubungan Umat Beragama : Catatan Akhir Tahun

25/12/2024
Yang Penting Bukan Pengangguran
Kolom

Yang Penting (BUKAN) Pengangguran

04/12/2024
Islamina Edisi November 2024
Bulletin

Menghidupkan Kesyahidan Pahlawan

18/11/2024
Bulletin edisi oktober
Bulletin Islamina

Jihad Santri di Abad Digital

11/10/2024
Next Post
larangan berhubungan badan

Saat Istri Haid, Islam Melarang Suami Berhubungan Badan

Gus Dur Bapak Sosialisme dari Pesantren Abad ke

Gus Dur: Bapak Sosialisme dari Pesantren Abad ke-21 (1)

Cari Artikel

No Result
View All Result

Masuk / Daftar

Masuk ke Akun anda
face
visibility
Daftar | Lupa kata sandi ?

Artikel Teerbaru

hukum alam

Hukum Alam Adalah Hukum Tuhan: Apakah Mukjizat Mengingkari Sebab-Akibat

21/08/2025
Membantah Pernyataan Zulkarnain Yusuf Tentang “indonesia Negara Kafir”

Kemerdekaan Indonesia dalam Perspektif Iman

15/08/2025
teologi kemerdekaan

Al-Baqarah : 177 – Peta Jalan Teologi Kemerdekaan dalam Islam

15/08/2025
kerusakan alam

Ketika Alam Tak Lagi Sakral: Ikhtiar Membangun Eko-Teologi dari Kritik Jantung Peradaban

02/08/2025
kurt godel

Ketika Tuhan Dibuktikan Tidak dengan Keimanan Buta, Tetapi dengan Logika: Kurt Gödel dan Rumus Ketuhanan

27/07/2025

Trending Artikel

  • Ulama Scaled

    Mengenal Istilah Rabbani

    319 shares
    Share 128 Tweet 80
  • 4 Penghalang Ibadah Kepada Allah Menurut Imam Al-Ghazali 

    298 shares
    Share 119 Tweet 75
  • Belajar Konsep Ketuhanan dari Surat Al Ikhlas

    264 shares
    Share 106 Tweet 66
  • Kitab Tajul ‘Arus: Makna Pengorbanan dan Obat Penyakit Hati

    255 shares
    Share 102 Tweet 64
  • Kitab “Majmû’ Fatâwâ” Karya Ibnu Taimiyah (1)

    248 shares
    Share 99 Tweet 62
Putih E E
  • Redaksi
  • Kirim Artikel
  • Tentang Kami
  • Kontak Kami
  • Kerjasama
No Result
View All Result
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Bulletin
    • Bulletin Jumat
    • Bulletin Islamina

© 2021 Islamina - Design by MSP.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

*By registering into our website, you agree to the Terms & Conditions and Privacy Policy.
All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.