Hakikat tawadhu‘ masih belum dipahami oleh sebagian besar umat Islam. Pada tulisan kali ini kita melanjutkan pembahasan tawadhu’ atau rendah hati. Pada renungan sebelumnya (renungan subuh ke-23), di akhir tulisan saya mengutip ungkapan Syaikh Ibnu Athoillah as-Sakandariy:
ليس المتواضع الذي إذا تواضع رأى أنه فوق ما صنع ولكن المتواضع الذي إذا تواضع رأى أنه دون ما صنع
“Orang yang tawadhu’ itu bukan ia yang ketika merendah (bersikap tawadhu’) menganggap dirinya lebih tinggi dari yang dilakukannya. Tetapi, orang yang tawadhu’ adalah orang yang ketika merendah (tawadhu’) menganggap dirinya lebih rendah dari yang dilakukannya.”
Ketika saya belajar hikam ini dan kaitannnya dengan kesombongan, Syaikh Muhammad Bassam Dhifda’ sambil memegang kitab rujukan Syarh al-Hikam al-Athaiyyah yang dikarang oleh Syaikh Abdul Majid asy-Syarnubiy (w. 1348 H), menjelaskan : “Bila seseorang ingin dianggap orang lain tawadhu’ lalu memposisikan dirinya di tempat yang bakal dipandang sebagai orang yang rendah hati, misalnya dalam satu majlis dia memposisikan dirinya di belakang namun dalam hatinya terbersit ‘seharusnya saya di depan bukan disini, di belakang.’ Maka Itu bukanlah orang yang tawadhu’ tapi orang yang sombong. Orang dikatakan tawadhu‘ itu bila dia merasa dan melihat hal keadaannya itu berada di bawah dari apa yang sewajarnya dia kerjakan. Sebagai misal, pada suatu kesempatan di satu majlis dia diposisikaan duduk di depan tapi dia melihat dan merasa bahwa yang wajar buat dirinya itu adalah di belakang bukan di depan. Ini yang namanya tawadhu”.
Orang yang tawadhu’ itu tidak menetapkan sifat tawadhu’ itu pada dirinya sendiri, karena ia merasa masih banyak ketidakpantasan pada dirinya sehingga dia tidak berani mengaku atau merasa sudah tawadhu’. Suatu saat Abu Yazid al-Busthami ditanya:” Kapan orang itu tawadhu’? Beliau menjawab:
اذا لم ير لنفسه مقاما ولا حالا, ولا يرى أن في الخلق من هو شر منه
“Jika sudah tidak merasa ada kedudukan dan kemuliaan pada dirinya,dan dia tidak melihat makhluk (orang) lain itu lebih jelek/hina daripada dirinya.” (asy-Syaikh Hazim Abu Ghazalah, al-Durar al-Ghazaliyah Syarh al-Hikam al-Athoiyyah, hal. 155/ Hikam No. 234).
Inti Tawadhu’
Tawadhu’ merupakan hasil dari perjuangan lahiriah dan batiniah kita dalam menghadapi nafsu agar jangan sampai sombong dan takabbur. Karena nafsu yang ada pada diri kita, mengajak dan menghendaki ketinggian diri yang berakibat merendahkan orang lain, sedangkan hati nurani kita justru menghendaki sebaliknya. Jadi tawadhu itu lahir dari dalam diri kita dan memang sudah tabiat kita, sudah pembawaan batin kita— bukan dibuat-buat agar dikatakan tawadhu’— sebagai akibat pemahaman kita yang mendalam tentang keimanan dan keagungan Allah.