الُتواضعُ الحقيقيُّ هُوَ ماكانَ ناَشِـئا عن شهود عظمةِ وَتجلّىِ صِفتهِ
“Tawadhu’ yang sejati(hakiki) ialah yang muncul karena melihat/memperhatikan keagungan Alloh dan terbukanya sifat-sifat Alloh (pada makhluk-Nya).”
Jadi Tawadhu’ yang sejati atau hakiki itu yang muncul sebab menyaksikan keagungan Allah dan terbuka (tajalli)-nya dzat dan sifat-Nya. Ketika seseorang sudah melihat dan menyadari keagungan Allah maka hilanglah sifat-sifat nafsunya. Dalam konteks inilah Imam Dzun nun al-Mishriy mengatakan:
من اراد التواضع فليوجه نفسه الى عظمة الله تعالى, فانها تذوب و تصغر, و من نظر الى سلطان اللله تعالى ذهب عنه سلطان نفسه لأن النفوس كلها ذليلة عند هيبته
“Siapa yang menginginkan tawadhu’ maka hendaknya dia menghadapkan nafsunya kepada kebesaran Allah dan keagungan-Nya, dan nafsunya akan meleleh dan melemah/hina. Dan siapa yang melihat kekuasaan Allah, maka akan hilanglah kekuasaan nafsunya, karena segala macam nafsu begitu hina bila dihadapkan dengan keagungan Allah SWT” (asy-Syaikh Hazim Abu Ghozalah, al-Durar al-Ghazaliyah syarh al-Hikam al-Athaiyyah, hal. 156/ hikam No. 236).
Namun yang perlu dipahami juga tawadhu’ bukan berarti kita merendahkan diri dihadapan orang lain sehingga kita dihina dan dilecehkan, tawadhu’ juga bukan kita memandang tinggi diri kita sehingga merendahkan orang lain dan melecehkannya. Islam mengajarkan ummatnya agar memiliki ‘izzah dan martabat diri. Dan tawadhu’ salah satu sifat yang membuat diri kita memiliki ‘izzah dan martabat diri, bukan sebaliknya. Terkait hal ini ada uraian cukup menarik dari Syaikh Burhanuddin Ibrahim al-Syadziliy al-Aqshara’i al-Hanafiy (w. 709 H):
أقول: التواضع بين الضعة والتكبر. فالضعة أن تكون مهانا وحقك ضائعا، والتكبر أن يكون غيرك بك مهانا وحقه ضائعا، والتواضع أن لا تهان ولا يهان بك غيرك، ولا يضيع حقك ولا يضيع بك حق غيرك
“Aku katakan: ketawadhuan itu berada diantara kerendahan dan ketakaburan. Kerendahan itu adalah kamu menjadi hina dan hakmu terlantar. Sementara takabur adalah kamu menjadi sebab atas kehinaan orang lain dan hak orang lain tersebut terlantar karena kamu. Sedangkan ketawadhuan itu adalah kamu tidak menjadi hina dan orang lain tidak menjadi hina karena kamu; hak kamu tidak terlantar dan hak orang lain tidak terlantar karena kamu,” (Ihkamul Hikam Fi Syarh al-Hikam al-‘Athoiyyah, pada fasal penjelasan matan “Man Atsbata Linafsihi Tawadhu’an…”)