Sudah beberapa tahun terakhir, kata-kata “kafir” sering terlontar dari segolongan kelompok untuk kelompok lain yang berda pandang tentang keagamaan. Kata-kata ini dialamatkan kepada kelompok muslim dan non-muslim yang tidak sealiran dengan dirinya (kelompok takfiri). Serangkaian kata ini juga adanya kata “bid’ah, “sesat”, dan “masuk neraka”. Semua dikandung maksud bahwa orang yang melakukan perkara yang tidak sebagaimana kelompoknya adalah salah dan (mereka mengklaim) masuk neraka.
Produksi kata “kafir” dan kata-kata di atas, yang dialamatkan kepada saudara seiman dan tidak seiman memiliki tujuan agar orang lain bisa berjalan sesuai dengan keyakinan kebenaran sebagaimana yang mereka anut. Dalam diri mereka meyakini bahwa keyakinan serta tradisi ibadah yang dilakukan kelompoknya adalah yang terbaik. Sementara, keyakinan serta tradisi ibadah kelompok lain adalah salah. Nah, dalam rangka “meluruskan” kelompok yang mereka anggap tidak salah, mereka menghakimi kelompok lain dengan kata-kata tidak pantas, semisal “kafir”.
Setiap orang yang mendapat peringatan dari orang lain, sementara dalam memperingatkan menggunakan kekerasan (fisik atau nonfisik) sangat sulit untuk bisa menerima. Karena, dengan adanya kekerasan, maka hati akan terluka. Dalam kasus ini, seorang muslim yang sudah berusaha mengamalkan ibadah dengan upaya maksimal sesuai dengan arahan guru, namun pada kenyataannya ada kelompok lain yang menuduh “bid’ah”, “kafir”, “sesat”, dan “pasti masuk neraka” dipastikan akan melukai hati orang tersebut. Alhasil, kata-kata yang dimaksud agar si pelaku “kafir” dan kata-kata tadi, merasa sakit hati dan sulit mengikuti ajakan orang yang telah menyakiti hatinya.
Lebih dari itu, sakit hati yang dirasakan oleh umat muslim yang mendapat cacian dari kelompok takfiri bukan sekadar sakit hati secara personal. Mereka merasa bahwa keyakinan yang telah ditumbuhkan oleh guru-guru yang ia hormati mendapat penghinaan dari kelompok lain yang tidak pernah ia hormati. Artinya, mereka merasa sakit hati karena keyakinan dan gurunya juga terkena kata-kata cacian yang tidak bisa dipandang remeh.
Orang-orang yang mendapat cacian “kafir” bukan membenarkan kata-kata tersebut. Justru, mereka mencari kebenaran sejati dengan terus belajar kepada para guru dan sumber-sumber ilmu agama sehingga bisa mendapatkan ilmu yang cukup. Mereka pun selalu ber-ijtihad dalam mencari arahan kebenaran dari Allah SWT. Selain dengan menggunakan akal, mereka juga selalu bersanding kepada guru-guru, serta berdoa agar mendapatkan hidayah di tengah badai keimanan dari saudaranya sendiri.
Alhasil, kata “kafir” wa alihi wa ashabihi bukan merupakan kata-kata yang pas dalam ruang “berdakwah”. Kata-kata ini justru akan menjadi pemicu perpecahan antar saudara. Persaudaraan seagama, sebangsa, dan setanah air, akan luntur gara-gara kata “kafir”. Untuk itulah, mari kita selalu berusaha untuk memilih kata-kata santun dalam segala perilaku kehidupan. Jangan sampai kata-kata yang kita lontarkan menyakiti hati orang lain sehingga tali persaudaraan akan terpustus.
Allah SWT sendiri telah memberikan metode dalam berdakwah. Dalam al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125).
Sehingga dari sini, ada dua hal yang mesti diperhatikan oleh kelompok muslim yang sering kali menggunakan kata-kata “kafir, bid’ah, sesat, dan masuk neraka”. Pertama, mereka mesti introspeksi, apakah yang didakwahkan adalah kebenaran hakiki atau hanya kebenaran menurut kelompok dan hanya bersifat politis? Jangan-jangan kebenaran yang didakwahkan justru bertentangan dengan kebenaran hakiki. Kedua, jika materi dakwah sudah benar-benar hak, maka metode dakwah mesti dengan cara yang pas, yakni dengan hikmah (bijaksana) dan mauizah hasanah (perkataan yang baik).
Umat muslim juga mesti sadar bahwa perbedaan merupakan sunatullah yang pasti adanya. Kita harus bisa legowo dengan kekuasaan Allah SWT. Jangan sampai ketika Allah SWT menghendaki adanya perbedaan, justru ada makhluk yang memaksakan diri untuk membuat manusia menjadi satu macam. Padahal, upaya yang dilakukan dengan cara yang kasar dan tidak manusiawi.
Wallahu a’lam.
Baca Juga: Sufisme Masyarakat Urban: Vaksinasi Diri dari Takfiri