Akademisi yang pernah menjabat sebagai Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Kota Semarang ini menilai adanya upaya delegitimasi dari kalangan tertentu terhadap ulama moderat dan para santri. Walaupun demikian, Prof. Syamsul menganggap bahwa narasi yang menyudutkan ini biasa terjadi di negara demokrasi dan cukup ditanggapi dengan santai.
“Terkait dengan adanya upaya delegitimasi ulama moderat, khususnya dari kalangan Nahdlatul Ulama yang dianggap ‘cinta dunia’ karena kedekatannya dengan Pemerintah, kita cukup tanggapi dengan santai saja. Bisa jadi ungkapan itu keluar karena rasa cemburu pihak tertentu terhadap kerja sama yang baik antara ulama dan umara,” ujarnya.
Prof. Syamsul berpendapat, mereka yang kini dilirik Pemerintah untuk menempati posisi strategis di Indonesia bukanlah murni kedekatan personal semata, namun juga dengan kecakapan pribadi dan karakter yang dapat diandalkan. Terlebih lagi, dengan diberi wewenang yang lebih luas, kalangan agamis yang moderat juga dianggap bisa memberikan manfaat dan pengaruh positif dengan lebih luas.
“Menurut saya, justru akan semakin baik jika pengelolaan sumber daya dan kepentingan negara diserahkan pada orang-orang yang memiliki ilmu agama yang mumpuni, daripada diserahkan ke orang yang kualitas agamanya dipertanyakan, atau bahkan tidak beragama,” imbuhnya.
Walaupun demikian, Prof. Syamsul juga tidak menampik bahwa ilmu agama dan kedekatan dengan Pemerintah tidak bisa dijadikan modal tunggal untuk mempromosikan diri seseorang, tanpa dibekali kemampuan pendukung lainnya. Masyarakat juga dihimbaunya agar tidak terlalu cepat menilai kapasitas seseorang atau kelompok tanpa mengetahui keseluruhan latar belakangnya.
“Rakyat Indonesia jangan mudah termakan narasi yang bernuansa dikotomis dan memecah belah persatuan bangsa. Kepercayaan Pemerintah Indonesia sebagai penyelenggara negara terhadap ulama nusantara dalam pengelolaan hajat hidup orang banyak adalah bukti dari kontribusi nyata kalangan yang moderat dalam beragama. Peran ulama dan umara yang berkelindan justru dapat berfungsi sebagai pengingat serta kontrol sosial dan politik antara satu dengan lainnya,” pungkas Prof. Syamsul Maarif.