Syaikh al-Husain Ayit Sa’id, ahli fikih kontemporer dan pakar ilmu maqâshid, membahas masalah ini secara lebih fleksibel dengan pertimbangan ilmiah. Ia menyatakan bahwa masalah ini sesungguhnya bukanlah masalah baru, melainkan sudah dibahas oleh para sarjana klasik, di antaranya oleh para ulama mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah.
Ia menyoroti dua hal dari pandangan Syaikh al-Ghamiri terkait syarat-syarat bolehnya mengikuti seorang imam via radio dalam melaksanakan shalat Jum’at: apakah ittishâl al-shufûf (keterhubungan/kedekatan barisan, saling kontak fisik) dan hudhûr al-jamâ’ah khalf al-imâm (kehadiran jamaah/makmum di belakang imam) merupakan syarat dalam shalat?
Kalau iya, apakah keduanya merupakan syarth shihhah al-shalâh (syarat sahnya shalat) atau syarth kamâl al-shalâh (syarat kesempurnaan shalat)?
Menurut Syaikh al-Husain Ayit Sa’id, di dalam mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah, kedua hal itu dipandang sebagai syarth kamâl al-shalâh, berbeda dengan mazhab Hanafiyah yang menyebut keduanya sebagai syarth shihhah al-shalâh. Ia mengatakan, berdasar mazhab Malikiyah, bahwa shaf tidak harus terhubung atau berdekatan (‘adam ittishâl al-shufâf) dan makmum/jamaah tidak harus berada di belakang imam (‘adam kawn al-mamûm warâ
al-imâm).
Sehingga, menurutnya, syarat bolehnya mengikuti seorang imam melalui radio dalam melaksanakan shalat Jum’at secara berjamaah adalah jamaah/makmum dapat mendengarkan takbir imam, serta mengetahui rukuk dan sujudnya imam dengan pendengaran, dan tidak harus melihat imam, tetapi kalau ia bisa mendengar sekaligus melihat seluruh gerakan imam itu lebih sempurna.
Syaikh al-Husain Ayit Sa’id menyebutkan cerita tentang Imam Malik yang pernah ditanya bagaimana jika antara imam dan jamaah/makmum terhalang sungai kecil, dan Imam Malik menjawab, “Tidak apa-apa.” Imam Malik mengatakan demikian karena, dalam kondisi di masanya, kalau hanya terhalang sungai kecil, suara takbir dan bacaan imam masih mungkin terdengar oleh jamaah/makmum, tetapi kalau sungainya besar, suara takbir dan bacaan imam kemungkinan tidak akan sampai ke para jamaah/makmum.
Berbeda dengan kondisi di zaman sekarang, seiring kecanggihan alat-alat pengeras suara, meskipun terhalang sungai sangat besar sekalipun, suara takbir dan bacaan imam akan tetap terdengar.
Pendapat Syaikh al-Husain Ayit Sa’id
Dengan demikian, menurut Syaikh al-Husain Ayit Sa’id, mengikuti pendapat mazhab Malikiyah, shalat Jum’at melalui televisi dan alat-alat komunikasi mutakhir, khususnya di masa penyebaran Covid-19 seperti sekarang ini, di mana masjid-masjid ditutup untuk sementara waktu, diperbolehkan dan tidak dilarang.
Syaikh al-Husain Ayit Sa’id menegaskan bahwa ia tidak menyampaikan pendapatnya pribadi, melainkan pendapat dari para tokoh ulama mazhab Malikiyah tentang masalah tersebut, dan bahwa pendapatnya dibatasi oleh waktu dan tempat, sehingga tidak boleh digeneralisasi untuk semua keadaan, waktu, dan tempat. Ia sepakat dengan pendapat Syaikh al-Ghamari mengenai syarat kesamaan waktu antara imam/khatib dan jamaah/makmum di dalam suatu negara, sehingga tidak dibolehkan bagi siapa pun di Indonesia untuk mengikuti seorang imam di Arab atau Eropa atau Amerika karena perbedaan waktu shalat antara Indonesia dan wilayah-wilayah tersebut.
Bahkan di negara yang sama sekalipun, jika jarak antara suatu daerah dengan daerah lain sangat berjauhan sehingga waktu shalatnya berbeda, itu juga tidak diperbolehkan. Misalnya orang yang tinggal di Kota Jayapura tidak boleh mengikuti seorang imam yang ada di Kota Jakarta, karena selisih waktu antara dua kota tersebut sangat jauh (sekitar 2 jam) meskipun keduanya berada dalam satu negara.
Senada dengan pendapat ini, Syaikh Ahmad al-Raisuni, dalam sebuah pertemuan virtual bertajuk “Ramadhân wa Hâlat al-Thawâri`” (Ramadhan dan Keadaan Darurat) yang diselenggarakan oleh Harakah Tauhid wal Ishlah di Meknes, menyampaikan pendapat mengenai kemungkinan hukum untuk melakukan shalat Tarawih di belakang seorang imam yang absen (tidak hadir) karena karantina atau isolasi.
Ia mengatakan bahwa di masa pandemi ini banyak sekali kemudahan syariat yang diberikan Allah untuk umat Muslim, khususnya di dalam shalat-shalat nawafil.
Syaikh Ahmad al-Raisuni memberikan contoh pelaksanaan shalat di Arab Saudi. Ia mengatakan, disadari atau tidak, shalat dengan mengikuti imam melalui media ternyata dipraktikkan juga di Makkah dan Madinah.
Di kedua kota suci itu, shalat dilaksanakan di pemukiman-pemukiman warga dan hotel-hotel di sekitar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dengan mengikuti imam yang ada di dua masjid besar tersebut melalui televisi atau pengeras suara, bahkan warga-warga yang tinggal di luar dua kota itu juga mengikutinya.
Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa hukum syariat sebenarnya memiliki keluasan dan keringanan. Umat Muslim bisa mengikuti fatwa-fatwa fatwa di atas dalam menunaikan shalat Jum’at di rumah masing-masing dengan mengikuti seorang imam yang berada di tempat yang jauh untuk melindungi diri sendiri, orang lain, dan masyarakat.
Seorang muslim yang tidak ingin melaksanakan shalat Zhuhur sebagai pengganti shalat Jum’at di masa pandemi ini, tetap bisa melaksanakan shalat Jum’at berjamaah melalui sarana-sarana komunikasi muktakhir yang tidak ada pada masa terbentuknya mazhab-mazhab fikih, yang bahkan lebih canggih daripada radio, atau bahkan lebih canggih daripada televisi sekalipun.