Kontekstualisasi, sebagaimana diisyaratkan dalam KBBI, merupakan proses menjadikan suatu teks berhubungan erat dengan konteks. Dalam literatur Usul al-Fiqh, kontekstualisasi adalah usaha untuk menjadikan teks al-Qur’an dan Hadis atau pemahaman yang diturunkan darinya sesuai dengan konteks masing-masing mitra bicara ketika teks atau pemahaman tersebut diberikan kepada mereka. Sementara sarjana mengaitkan kontekstualisasi dengan apa yang disebut qiyas, yaitu proses mengkontekstualisasikan nilai moral dari sebuah kasus yang sudah ditentukan hukumnya (asl) terhadap kasus baru yang belum ditentukan hukumnya (far’) karena persamaan penyebab (‘illah) di antara keduanya.
Pada umumnya, sebagian sarjana menisbatkan asl pada apa yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw lantaran periode kehidupan beliau adalah yang terbaik dan segala yang menjadi perilakunya memang menjadi sumber hukum. Sementara far’ disandarkan kepada peristiwa kontemporer pada setiap lembaran sejarah umat Islam setelah meninggalnya beliau. Namun, patut diketahui juga bahwa bahkan semasa hidup Rasulullah Saw pun, spirit kontekstualisasi sesungguhnya sudah mewujud.
Dalam kitab populernya, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Izz al-Din Ibn Abd al-Salam memberikan contoh bagaimana Rasulullah Saw melakukan kontekstualisasi terhadap hadits yang diucapkannya dengan memperhatikan siapa Sahabat yang menjadi mitra bicaranya sekaligus kondisi yang sedang dihadapinya.
Dalam sekian riwayat, ditemukan Rasulullah Saw menyatakan bahwa amalan yang paling utama adalah iman kepada Allah Swt (al-iman billah). Pada saat yang sama, ia juga menyatakan berbakti pada kedua orang tua (birr al-walidain), shalat tepat pada waktunya (al-shalat li awwal waqtiha), dan jihad fi sabilillah termasuk amalan utama Pertanyaannya; apakah hal tersebut lantas berarti Rasulullah Saw tidak konsisten terhadap ucapan beliau sendiri? Mengapa sedemikian banyak amalan yang berbeda masing-masing disebut paling utama? Bukankah ketika suatu perbuatan disebut paling utama, maka otomatis yang lain tidak akan lebih utama darinya?
Apa yang terjadi justru adalah sedemikian bijak Rasulullah Saw dalam berdakwah. Saran dan ajakan kebaikan disesuaikannya dengan kondisi yang sedang dihadapi oleh Sahabat penanya. Kesempatan memperkuat keimanan, berbakti kepada orang tua, shalat tepat waktu, jihad, dan juga lain-lainnya semuanya merupakan episode yang akan selalu berganti dan berputar dalam kehidupan seseorang. Memang setiap amalan mempunyai tingkatan, namun yang paling utama dilakukan adalah berbuat terbaik dalam maqam yang telah ditentukan Allah Swt kepadanya agar selalu dekat kepada-Nya.
Bahkan nilai moral kedekatan kepada Allah Swt tersebut, lanjut Izz al-Din, dapat juga dikontekstualisasikan dalam hubungan lintas individu. Artinya, bagi Sahabat yang sedang dicoba untuk merawat orang tua, maka amalan terbaik baginya adalah berbakti kepada keduanya. Bagi Sahabat lain yang sedang dikaruniai harta yang cukup, maka haji mabrur adalah amalan utama yang harus diusahakan olehnya. Dan mereka yang diberi kekuatan berjihad sementara kondisi sosial memang memerlukannya, maka jihad itulah perbuatan utama baginya.
Ini merupakan bukti bahwa praktik kontekstualisasi sudah dilakukan bahkan sejak zaman dan oleh diri Rasulullah Saw sendiri. Kebutuhan akan kontekstualisasi jelas bertambah urgen di masa sekarang ini ketika beliau tidak lagi bisa dijumpai secara fisik. Menyadari hal ini, maka para ulama mujtahid bertindak mengambil peran dalam proses kontekstualisasi tersebut.
Fakta akan urgensi peran ijtihad ini sekaligus juga menjadi jawaban bagi sementara saudara sesama Muslim yang bersikukuh untuk hanya kembali secara tekstual kepada al-Quran dan Sunnah. Apa yang dihasilkan oleh para ulama mujtahid, betapa pun banyak dan luar biasa jumlahnya, tidak lain hanya karangan manusia yang tidak perlu diikuti.
bersambung…