Meski demikian, ini tidak berarti bahwa Islam sepenuhnya agama eksklusif yang hanya mengurusi urusan pemeluknya sendiri. Karena, ketika kita membicarakan Islam secara holistik, dengan sendirinya kita sedang membicarakan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Sebab, selain teosentris, Islam sendiri merupakan agama yang bersifat antroposentris, di mana salah satu orientasi ajarannya adalah untuk merealisasikan kemaslahatan umat manusia.
Antroposentrisme Islam ini ditunjukkan oleh fakta bahwa salah satu karakteristik yang paling esensial dari ajaran Islam adalah keadilan. Artinya, sebagaimana ditunjukkan oleh Ibn Qayyim dalam I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, (vol.6; hal. 513) di mana ada keadilan terlembagakan, maka di situlah nilai-nilai Islam terepresentasikan. Bahkan dalam batas tertentu, validitas kalimat ini pun dapat dibalik; di mana nilai-nilai Islam diterapkan dengan jujur dan penuh kesungguhan, di situlah keadilan universal akan tumbuh dan berkembang.
Sedemikian banyak bentuk redaksi yang pertama (3 kali) dibandingkan yang kedua (1 kali) dan ketiga (1 kali) menunjukkan sedemikian besar tugas Rasulullah Saw – dan selanjutnya diwariskan kepada para ulama – untuk mereproduksi hukum turunan yang menjelaskan nilai-nilai moral yang terdapat dalam al-Qur’an. Hal ini dengan sendirinya menunjukkan bahwa mengambil hukum langsung dan hanya dari al-Qur’an untuk dijadikan panduan komprehensif keberagamaan sehari-hari amat sulit dilakukan.
Kenyataannya, sebagian besar isi al-Qur’an hanya mengandung petunjuk umum; sementara detail mekanisme pelaksanaannya baru disebutkan dalam Sunnah. Pada titik ini, menjadi relevan pernyataan Hamdani di atas bahwa Rasulullah Saw di samping sebagai penyampai apa yang dinyatakan Allah Swt, juga pembuat hukum sebagai penjelas dari apa yang beliau sampaikan tadi.
Karena Rasulullah Saw sudah tiada, maka pada masa setelahnya, kehadiran seorang ulama mujtahid (pelaku ijtihad) merupakan sebuah keniscayaan sebagaimana yang diisyaratkan oleh ulama Kuwait di atas. Keberadaan seorang ulil amri pun sebuah keharusan agar nilai moral dalam al-Qur’an dan Sunnah tersebut dapat diterjemahkan dalam kehidupan sosio-politik praktis.
Berangkat dari kesadaran ini, maka seyogyanya kita bersikap moderat. Tidak perlu begitu antipati terhadap mereka yang mendengungkan slogan Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Tidak boleh berpangku tangan juga untuk menyadarkan mereka bahwa langsung dan semata-mata berpegangan kepada al-Quran dan Sunnah tidaklah cukup.
Setiap orang pada dasarnya memang harus dimotivasi untuk menjadi mujtahid. Meski pada akhirnya, karena memang diciptakan dengan kapasitas dan kecenderungan yang berbeda, mereka pun tidak akan semuanya menjadi mujtahid. Sebagaimana perjalanan intelektual saya ke Malaysia, mengikuti Program Kaderisasi Ulama di Gontor ketika itu, dan yang sekarang ini di Masjid Istiqlal, semuanya setidaknya berada dalam kerangka impian menjadi seorang mujtahid. Dan tetap saja; man proposes, God disposes.
Wallahu A’lam.