Islamina.id – Fritz Steppat adalah seorang orientalis kelahiran Jerman, yang barangkali, bagi dunia Timur tidak lagi dianggap sebagai orang lain. Ia menguasai kebudayaan klasik yang luas, siapa pun yang mengenal dan membaca karya-karyanya, akan merasa kagum.
Gaya pengungkapannya dalam bahasa Jerman dan Inggris, yang didengar ataupun yang dibaca, sangat transparan dan halus, sehingga ceramah-ceramah dan karya-karyanya dijamin akan berhasil secara cepat.
Banyak sudah karya yang terlahir dari oretan penanya. Salah satu karyanya yang cukup populer adalah Islam Als Partner, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul, al-Islâm Syarîkan.
Buku ini merupakan kumpulan artikelnya yang pernah disampaikan di pelbagai seminar selama kurang lebih lima puluh tahun (1944 – 1996).
Baca juga:
- Memaknai Hari Pahlawan
- Refleksi Hari Pahlawan
- Generasi Muda Patut Waspadai Penyebaran Intoleransi dan Radikalisme Gaya Baru
- Menghidupkan Kesyahidan Pahlawan
- Dakwah Bilhikmah
Buku ini mengulas beberapa permasalahan, empat di antaranya berkenaan dengan sejarah Islam, selebihnya tentang sejarah Arab modern, yang kalau dilihat secara sekilas, akan nampaklah obyektivitasnya.
Dalam buku ini, hal yang perlu diapresiasi dari Fritz Steppat adalah sikapnya yang baik terhadap umat Muslim. Barangkali tinggalnya di Cairo dan Beirut dalam jangka waktu yang relatif lama telah memberinya kesempatan untuk memahami secara lebih dekat problem-problem dunia Arab-Islam.
Ia termasuk salah seorang yang pertama kali menentang bahaya kebohongan besar yang menyebar begitu luas, paling tidak sejak awal-awal tahun sembilan puluhan, melalui omongan dan tulisan sebagian kaum orientalis bahwa Islam—setelah hancurnya Uni Soviet dan runtuhnya sistem komunis di Eropa Timur—merupakan ancaman bagi Barat sekaligus bahaya terbesar bagi dunia.
Dalam pandangannya, sudah tiba saatnya Islam dianggap sebagai patner dalam perjalanan sejarah manusia kontemporer, bukan sebagai musuh atau ancaman bagi perdamaian dunia. Sudah saatnya Islam diposisikan sebagai teman dialog, tidak lagi sebatas “obyek”, akan tetapi sebagai “subyek” yang mempunyai hak untuk berbicara mengenai nasibnya sendiri.
Bagi Fritz Steppat, Islam tidak jauh beda dengan Kristen, di mana sebagai agama, berdasar karakter dan identitasnya, keduanya tidak mungkin menginginkan permusuhan atau bahkan kepada siapapun. Harus diakui memang, dalam beberapa dekade, keduanya sering dijadikan alat untuk menjustifikasi peperangan dan memobilisasi massa untuk saling membunuh. Tetapi kita tidak boleh dengan serta-merta menganggap bahwa perang adalah tujuan hakiki dari kedua agama tersebut.
Makanya fenomena perang atas nama agama harus dilihat dalam konteks sejarah. Kalau dicermati secara jeli, lahirnya permusuhan dari umat Muslim terhadap Barat itu semata-mata dipicu oleh antagonisme Barat terhadap mereka. Hanya saja, secara mendasar, reaksi ini tidak timbul dari dalam Islam sebagai sebuah agama, akan tetapi merupakan konsekuensi logis dari sejumlah faktor historis berupa aksi-reaksi dari kedua belah pihak (baca: Barat – Islam).
Namun, seperti beberapa orientalis yang segenerasi dengannya, nampak sekali bahwa Fritz Steppat masih tidak peduli bahkan anti terhadap ilmu-ilmu sosial atau humanitas modern berikut metode-metodenya. Maksud saya cara mempraktekkan dan menerapkan ilmu-ilmu ini terhadap pelbagai obyek sejak ilmu linguistik dan antropologi baru-baru ini hadir menguasi lapangan.
Saya mengakui bahwa Fritz Steppat adalah seorang penganalisa masalah-masalah keislaman kontemprer yang baik. Hanya saja dia belum mampu sepenuhnya membebaskan diri dari pengaruh-pengaruh pendahulunya (para orientalis klasik).