Baca juga: Misi Islam: Mengajarkan Perdamaian bukan Permusuhan
Dalam konteks ini, kalau kita mau mengambil sedikit komparasi, kiranya ada kesamaan dengan perkembangan yang terjadi pada Islam. Ketika Islam baru muncul di pentas sejarah dengan Nabi Saw. sebagai pemimpin utamanya, umat Muslim ibarat anak-anak yang baru belajar untuk hidup di bawah asuhan orang tua yang bijaksana, yaitu Nabi Saw. Karena masih ‘anak-anak’, tentunya mereka perlu belajar untuk menyongsong masa depan yang cerah.
Ada suatu hal yang menarik untuk diperhatikan, bahwa saat itu, kehidupan masyarakat Muslim masih berjalan sedemikian dinamis, tidak ada belenggu-belenggu yang mengikat, setiap orang boleh bersikap kritis, semua produk pemikiran atas dasar ijtihad begitu dihargai. Nabi sendiri, dengan kapasitasnya sebagai pemimpin tidak pernah merasa benar sendiri. Sebab beliau menyadari bahwa dirinya tak lebih hanyalah manusia biasa yang tidak bisa lepas dari kesalahan.
Para ahli hadits meriwayatkan berbagai peristiwa ketika terjadi perbedaan pendapat antara Nabi dan Umar ibn al-Khattab. Nabi hendak menshalatkan Abdullah ibn Ubay, namun Umar tidak menyetujuinya. Dalam kasus ini, wahyu turun membenarkan Umar.
Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi pernah menangis dengan terisak-isak menyesali kesalahan pendapatnya, disertai Abu Bakar. Umar bertanya, “Apa yang menyebabkan Anda dan sahabat Anda menangis? Kalau ada sesuatu yang pantas untuk saya tangisi, saya akan menangis. Kalau tidak ada, saya akan berusaha menangis seperti tangisan Anda.” Ditanya demikian, Nabi kemudian menceritakan tentang wahyu yang turun membenarkan Umar. Lebih lanjut, Nabi berkata, “Seandainya azab turun, tidak akan ada yang selamat kecuali Umar ibn al-Khattab.” (Pengantar Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Taufik Adnan Amal ‘Islam dan Tantangan Modernitas’)
Baca juga: Sejarah Takfir dan Ragam Tafsirnya
Riwayat di atas, merupakan justifikasi bahwa Nabi tidak pernah memonopoli kebenaran, beliau begitu demokratis, pendapat orang lain tetap beliau hormati sebagai sebuah ijtihad, tidak lantas seenaknya sendiri menyalahkan ini dan itu. Kondisi ini terus berlangsung selama kehidupan beliau hingga berakhirnya masa al-Khulafa’ al-Rasyidin. Periode ini kita sebut dengan ‘Orde Lama’ Islam.
Adapun ‘Orde baru’ Islam itu berlangsung sejak munculnya dinasti Umawiyyah, yang kemudian dilanjutkan oleh dinasti-dinasti lain setelahnya. Pada masa ini–sebagaimana di zaman Soeharto–Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik itu di bidang dakwah, ilmu, pemerintahan, kesenian dan bidang-bidang lain. Tetapi ada sesuatu yang kurang, yaitu bahwa pada masa itu kemajuan yang sudah sejak lama diraih oleh Islam, terutama dalam hal-hal yang menyangkut agama, pada akhirnya dianggap sudah final.
Hal itu terbukti ketika pada akhir abad pertengahan, mayoritas ulama pada masa itu telah berhasil membangun sebuah kesepakatan bahwa semua problem keagamaan yang esensial telah dibahas secara tuntas, tanpa ada satupun yang tertinggal, sehingga mereka kemudian berpandangan bahwa pelaksanaan segala bentuk ijtihad (inovasi) tidak diperbolehkan lagi. Sebab hal itu ditakutkan akan mengganggu stabilitas ajaran Islam. Namun, implikasi dari hal tersebut, pada kenyataanya, telah mempersempit ruang gerak berbagai usaha untuk memikirkan masa depan Islam kembali. Periode ini kita sebut dengan ‘Orde Baru’ Islam.