“Tidak, tidak sama sekali. Tidak ada urusannya. Ini urusan kemanusiaan. Misalnya kita berbuka puasa dengan umat yang berbeda agama itu diperbolehkan dalam rangka memperkuat hubungan sosial kemasyarakatan,” tegas Marzuki.
Menurutnya, bulan Ramadan harus menjadi momen untuk sama-sama bersuka cita dan berbagi kebahagiaan serta menunjukkan bagaimana agama Islam dapat menjadi penyejuk dan rahmat bagi alam semesta. Sehingga dalam membangun kerukunan tidak ada istilah menggadaikan aqidah, menggadaikan agama.
“Kita menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan itu mewujudkan hati kita menjadi damai, sejuk, tentram dan toleran, dengan demikian maka itulah yang diharapkan oleh Tuhan. Kita berbagi kebahagiaan di bulan Ramadan dengan seluruh umat, itu yang dinamakan ibadah,” ujarnya.
Disamping itu, dirinya menambahkan bulan Ramadan dapat menjadi momen yang tepat, baik bagi pemerintah maupun para tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk memasifkan pencegahan radikalisme dengan membangun ukhuwah wathaniyah. Misalnya dengan menggelar acara buka puasa bersama mengumpulkan berbagai kalangan.
“Pemerintah bisa libatkan semua unsur mansyarakat yang berbeda suku, budaya dan agama untuk ikut merayakan dan merasakan suka cita Ramadan, membahagiakan sesama umat manusia meskipun berbeda agama. Ini momentum yang sangat berharga dan massif. Bulan Ramadan sebagai media silaturahim,” katanya.
Terakhir, penulis buku ‘Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam Di Perguruan Tinggi Umum’ ini juga mengimbau masyarakat khususnya dalam menyambut Ramadan untuk tidak hanya dapat menahan diri menahan lapar dan haus. Namun juga menahan diri dari nafsu untuk menyebarkan fitnah, hoax, dan hatespeech yang hanya akan membawa kepada kemudharatan.
“Bulan puasa ini harus menjadi pembelajaran, untuk mulailah kita tidak menjadikan medsos sebagai alat untuk menyebarkan fitnah, berita bohong ataupun hal-hal yang mempengaruhi masyarakat menjadi resah. Itu dosa besar dan puasa baginya menjadi tidak ada artinya,” tandas Marzuki.