Kegelisahan atau perasaan khawatir para ulama menjelang tahun baru 2021 menjadi perhatian tersendiri. Polarisasi di umat Islam bahkan umat beragama lain semakin tak terbendung. Atensi dakwah maupun gerakan para ulama harus konsisten dan progresif. Bukan malah mengajak perpecahan dan kerusakan. Pada prinsipnya, tugas ulama pun semakin berat.
Problem-problem yang terjadi di Indonesia, menjadi hal yang menarik dibicarakan oleh sarjana-sarjana Barat seperti Ben Anderson, Olivier Roy, Ricklefs, Clifford Geertz, dan masih banyak yang lain. Oleh karena itu — terkait ulama dan Islam — tidak hanya membincang sejarah saja, namun juga kondisi politik di Indonesia. Sebelum masuk lebih dalam, setidaknya kita samakan terlebih dahulu persepsi kita mengenai definisi ulama atau “orang yang berilmu”.
Kata ‘ulamā ( عُلَمَاء ) jamak dari ‘ālim ( عَالِمٌ ) yang bermakna orang yang berilmu atau memiliki pengetahuan. Ilmu itu tidak hanya lingkup bidang agama saja, namun juga ilmu bidang lain. Inilah yang terjadi dalam konteks Indonesia. Penyempitan makna di Indonesia dan menjadi “hanya” milik identitas umat Islam saja. Justru tafsiran ulama di Indonesia menjadi cendekiawan.
Di dalam Alquran sendiri tidak cukup orang yang memiliki ilmu disebut ulama. Hal ini mengacu pada dalil Alquran:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” [Q.S. Fathir: 28]
Ayat diatas bisa dimaknai atau orang yang bisa “disebut” ulama adalah mereka yang hanya takut kepada Allah dan tidak takut kepada selain Allah SWT. Ibnu Abbas mengartikan ulama adalah “orang-orang yang mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan hakikat orang yang mengetahui Allah adalah siapa saja yang tidak menyekutukan Allah , menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, menjaga pesan-pesan ketuhanan-Nya, dan dia yakin akan bertemu Allah dan semua amal perbuatannya akan dievaluasi” (Lihat ‘Umdatu at-Tafsīr ‘An al-Hafidz Ibn Katsīr, Kairo: Dār al-Wafa, 2005, Juz: 3, hlm. 96).
Sedangkan Imam al-Ghazali membuat ciri-ciri atau tanda seorang ulama:
ﻭَﺍﻋْﻠَﻢْ ﺍَﻥَّ ﺍﻟﻼَّﺋِﻖَ ﺑِﺎﻟْﻌَﺎﻟِﻢِ ﺍَﻟْﻤُﺘَﺪَﻳِّﻦُ ﺍَﻥْ ﻳَﻜُﻮْﻥَ ﻣَﻄْﻌَﻤُﻪُ ﻭَﻣَﻠْﺒَﺴُﻪُ ﻭَﻣَﺴْﻜَﻨُﻪُ ﻭَﺟَﻤِﻴْﻊُ ﻣَﺎ ﻳَﺘَﻌَﻠَّﻖُ ﺑِﻤَﻌَﺎﺷِﻪِ ﻓﻰْ ﺩُﻧْﻴَﺎﻩُ ﻭَﺳَﻄًﺎ . ﻟَﺎ ﻳَﻤِﻴْﻞُ ﺍِﻟٰﻰ ﺍﻟﺘُﺮْﻓِﻪ ﻭَﺍﻟﺘَّﻨﻌﻢ
“Ketahuilah! bahwa yang patut atau pantas disebut ulama ialah orang yang makananannya, pakaiannya, tempat tinggalnya (rumah) dan hal- hal lain yang berkaitan dengan kehidupan duniawi, sederhana, tidak bermewah-mewahan dan tidak berlebihan dalam kenikmatan.”