Lebih lanjutnya, Imam al-Ghazali merancang tipologi khusus untuk ulama. Yang pertama adalah apa yang disebut sebagai ” ulamā al-akhirat “, yang kedua disebut ” ‘ulamā as-sū’ “. Kategori ulamā as-sū’ inilah yang menjadi parameter oleh umat Islam kontemporer saat ini.
Ulama Yang “Berat” Disebutan dan Ditugasan
Penulis sendiri berhipotesis, jika orang yang disebut ulama merupakan orang ahli dalam pengetahuan (baik agama dan lainnya). Lalu orang yang baru “dianggap ulama” saja sudah diberi panggung (dalam arti untuk kepentingan). Ini yang masih menjadi uneg-uneg penulis pribadi. Perlu ada pelurusan tafsir mana yang pantas disebut ulama. Perlu diketahui, tugas ulama adalah memberikan manfaat bagi umat.
Anasir-anasir sebagian Muslim Indonesia yang tidak baik bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kelompok ini yang menjadikan perhatian khusus, dimana mereka mencoba memframing orang yang belum atau masih kurang keilmuannya dijadikan, dianggap, atau disebut ulama. Hal-hal ini yang membodohi masyarakat Indonesia.
Jika merujuk teori Ibnu Abbas dan Imam al-Ghazali tadi, rasa-rasanya kita seperti ditampar. Ulama itu seharusnya zuhud dan tidak ikut tampil publik. Ulama itu yang benar-benar mewakafkan amal salehnya untuk ilmu dan orang yang berilmu pasti cara berbicara penuh faedah!. Fakta yang terjadi adalah orang baru masuk Islam, sudah berani menjelekkan agama sebelumnya. Baru “hijrah” atau mendapat hidayah, sudah berani mengkafirkan. Baru ceramah di satu atau dua Masjid, sudah merasa hebat.
Fakta-fakta tersebut karena memang tidak adanya basis lain yang meluruskan, dan memberikan wawasan kepada jama’ahnya. Ini yang pernah dijelaskan oleh Abdul Moqsith Ghazali. Ia menjelaskan bahwa ulama harus mempunyai dua kompetensi. Kompetensi akademik-keilmuan dan kompetensi etik-moral. Dua kompetensi tersebut harus diatas atau lebih baik dari keilmuan umat Islam pada umumnya. Dua kompetensi itulah yang harus dimiliki oleh seorang ulama.
Tugas ulama adalah memberikan manfaat baik itu berupa keilmuan dan memberikan teladan yang baik untuk para jama’ah atau followers-nya. Persoalan selanjutnya adalah narasi yang dimainkan oleh oknum dengan nama “kriminalisasi ulama”. Andai benar jika ulama yang dimaksud adalah ulama yang memenuhi dua kompetensi diatas, maka itu kembali pada kompetensi moralnya. Dan tugas ulama itu memang berat.