Seringkali kata “jihad” dimaknai sebagai perlawanan fisik, berperang melawan kuffar atau orang-orang kafir. Ketika seruan jihad diteriakkan yang terbayang dalam benak kita adalah seakan kita hendak berperang melawan musuh-musuh yang dianggap salah, sesat oleh kelompok kita sendiri (insider) dengan sebuah pedang atau senjata lainnya. Jihad tak bedanya seperti senjata yang ampuh melumpuhkan lawan, membunuh sesama.
Masih terekam dalam ingatan kita, apa yang akan terjadi jika seruan untuk berjihad melawan Amerika Serikat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah organisasi kemasyarakatan Islam lainnya benar-benar menjadi kenyataan. Berapa banyak manusia yang tersingkir, bahkan terbunuh jika tekad untuk mengadakan sweeping terhadap warga AS yang berada di Indonesia dari Front Pembela Islam (FPI) benar-benar terealisasi.
Pemaknaan jihad yang sempit dan reduktif itu tidak akan terlepas dari sosio-kultural yang melingkupinya. Jika melihat orang lain (outsider) berbeda dengan keinginannya, seakan hanyalah jihad sebagai solusinya. Sehingga pada gilirannya, ia akan memerangi kelompok yang tidak searah dengannya. Berapa banyak nyawa melayang, harta hilang, anak kehilangan bapak sebagai implikasi adanya simplifikasi interpretasi dari jihad itu sendiri.
Maka dari itu, pemahaman jihad yang cenderung simplistik dan reduktif itu dibiarkan, yang akan dijumpai adalah peperangan dan peperangan. Sebuah tafsir ulang terhadapnya adalah sebuah keniscayaan, jika memang Islam menghendaki adanya perdamaian, Ukhuwah Insaniyah. Islam adalah agama yang cinta perdamaian, pembebas dari belenggu-belenggu yang menghegemoni manusia.
Jihad berasal dari akar kata jahada-yujahidu-jihadan yang mempunyai arti “sukar” atau “sulit” dan “sungguh-sungguh”. Menurut Ibn Faris (w. 395 H) mengatakan bahwa setiap kata yang terbentuk dari huruf j-h-d pada mulanya bermakna “kesulitan” atau “kesukaran” dan yang sepadan denganya. Adapula yang mengartikan jihad berasal dari kata juhd yang berarti kemampuan. Dinamai demikian karena jihad memerlukan pengerahan segala kemampuan yang dimiliki dengan sungguh-sungguh untuk mencapai suatu tujuan tertentu. (Quraish Shihab, 2000: 501)
Dalam al-Qur’an ternyata jihad tidak selamanya bermakna konfrontasi fisik dengan musuh. Ayat jihad dalam al-Quran seluruhnya Madaniyah, atau diwahyukan pasca Nabi Hijrah ke Madinah (622 M), kecuali 25: 52 yang disepakati ulama sebagai ayat Makkiyah, ayat yang diturunkan sebelum Nabi Hijrah.
Ayat-ayat jihad pada awalnya mengisyaratkan makna pengorbanan dan perjuangan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Tapi uraian fiqh tentang jihad sebagian besar merupakan hasil usaha sistematisasi solusi pragmatis yang diambil Nabi. Titik lemah uraian itu adalah kegagalan menangkap regulasi moral yang non-contingen, seolah-olah variabel yang paling krusial dibalik jihad adalah mandat Ilahi untuk melancarkan peperangan. (Samsurrizal, Islamika No 4 hlm 93).