Sejak awal kehadirannya, Islam telah masuk ke dalam lini kehidupan manusia secara detail. Dari masuk WC hingga masuk masjid dan dari ujung rambut hingga ujung kaki memiliki panduan dan aturan dalam Islam. Hal ini karena Islam memang bertujuan memandu kehidupan manusia secara utuh dan menyeluruh (kaffah). Sehingga wajar, jika umat Islam dalam banyak hal sering bertanya tentang hukum (fiqhiyyah). Tidak terkecuali soal dasar Negara Indonesia; Pancasila.
Soal Pancasila, beberapa kalangan dari umat Islam menolaknya. Alasannya simple, tidak ada dalil yang menjelaskan soal Pancasila dan dalam pembuatannya ia merupakan produk manusia yang nisbi. Sementara hukum dalam Islam harus baku, absolute dan mutlak yang diberikan langsung oleh Allah melalui al Qur’an dan hadits. Sehingga pertanyaan yang segera mengemuka adalah adakah ayat al Qur’an yang menyetujui dan memerintahkan umat Islam untuk tunduk kepada Pancasila? Atau adakah perintah Nabi dalam hadits-haditsnya untuk mengakui dasar Negara bernama Pancasila? Jawabannya sudah jelas; tidak ada.
Pertanyaan di atas memang masuk akal. Dalam al Qur’an maupun hadits tidak ada perintah untuk tunduk kepada Pancasila. Dalam hadits pun dijelaskan bahwa Nabi hanya meninggalkan dua hal yang harus diikuti dan menjadi pedoman hidup bagi umat Islam; al Qur’an dan sunnah Nabi. Sementara Pancasila “kadung” menjadi dasar Negara Indonesia. Bagaimana nasib hukum Islam dalam bingkai Pancasila yang notabene produk manusia ini? Bagaimana umat Islam harus menyikapi Pancasila yang tidak memakai syariah Islam ini? Haruskah umat Islam terus melawan dan memberontak terhadap keberadaan Pancasila sembari berjuang untuk menegakkan syariah Islam? Mari kita renungkan bersama.
Islam, dalam hal ini al Qur’an dan hadits, memang hadir untuk mengatur dan menjadi pedoman hidup bagi umat Islam. Namun kedua pedoman itu hanya memuat sesuatu yang ada pada saat itu. Tepatnya, al Qur’an dan hadits tidak memuat hal baru seperti Facebook dan lain-lain. Karena al Qur’an maupun hadits hanya merespon kejadian atau pola pikir umat pada saat itu. Respon al Qur’an dan hadits terhadap kondisi yang terjadi pada saat itu disebut dengan asbabul nuzul untuk al Qur’an dan asbab al wurud untuk hadits.
Asbab al nuzul atau asbab wurud inilah yang sangat jeli dicermati oleh ulama untuk membaca kemungkinan terjadinya sesuatu di luar nash al Qur’an dan hadits di kemudian hari. Kelak jika terjadi sesuatu yang tidak disebutkan secara jelas oleh al Qur’an dan hadits maka lahir dua kesimpulan dari ulama; ushul fiqhiyyah dan maqashid al syariah. Ushul fiqhiyyah merupakan kaidah untuk merumuskan suatu hukum yang terjadi di luar al Qur’an dan hadits. Sementara maqashid al syariah adalah pemahaman ulama tentang tujuan sebuah syariah. Misalnya hukum facebook yang jelas-jelas tidak ada dalam al Qur’an maka bisa melalui metode dasar yakni segala sesuatu tergantung niatnya. Jika niatnya baik maka hukunya boleh. Jika sebaliknya maka haram. Al umur bi maqashidiha (segala sesuatu tergantung pada niat dan tujuannya)
Dalam menyikapi Pancasila juga begitu. Pancasila sendiri bukan bahasa arab. Dan dengan demikian tidak mungkin disebutkan dalam al Qur’an dan hadits yang berbahasa arab. Namun untuk menyikapi Pancasila dan kaitannya dengan syariah Islam maka perlu kejelian pertanyaan. Karena terkadang, kesalahan terjadi dimulai dari kekeliruan membuat pertanyaan. Pertanyaan yang harus dikemukakan dalam soal Pancasila harusnya “adakah yang bertentangan dengan syariah Islam” bukan “adakah dalil yang mengharuskan umat Islam tunduk kepada Pancasila?” Karena dua pertanyaan ini dasarnya berbeda dalam Islam.
Dalam soal beribadah, ulama merumuskan satu panduan “al ashlu fil asyya’ al tahrim hatta yadull al dalil ‘ala ibahah” bahwa dasar hukum segala sesuatu pada dasarnya adalah haram hingga ada yang membolehkannya. Artinya umat Islam harus total dan detail dalam mempraktikkan hal-hal ubudiyyah sesuai yang diperintahkan oleh Nabi dan al Qur’an. Sementara dalam soal muamalah (aktifitas duniawi) maka ulama memberikan panduan berupa “al ashlu fil asyya’ al ibahah hatta yadull al dalil ‘ala tahrimiha” bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal duniawi pada dasar hukumnya boleh kecuali ada nash yang melarangnya.