Islamina.id – GUS DUR, CAK NUR, KANG JALAL. Tiga tokoh yang berpengaruh dan mengarahkan arus diskursus keislaman di Indonesia. Bagi saya ketiga tokoh ini punya jasa besar dalam membangun pemahaman Islam untuk mencintai bangsa dan negaranya.
Meski titik berangkatnya berbeda. Gus Dur berangkat dari kekayaan khazanah klasik kitab kuning yang hidup di kalangan Nahdhiyyin. Cak Nur berangkat dari pemikiran Ibnu Taymiyah yang dipahaminya dengan caranya sendiri. Kang Jalal berangkat dari kekayaan khazanah sufisme, filsafat Islam, dan pemikiran revolusioner Syiah.
Dari titik berangkat yang berbeda, mereka bertiga memperjuangkan hal yang sama–setidaknya ini menurut pandangan saya–yaitu pemahan keislaman untuk memperkokoh nasionalisme, memantapkan Pancasila sebagai ideologi bangsa, dan nilai-nilai luhur yang hidup sebagai karakter bangsa ini: bhinekatunggalika, toleran, moderat. Karena dalam pergaulan sehari-hari ketiga tokoh ini sahabat dekat, karib.
Kang Jalal sang Intelek
Kang Jalal adalah intelektual yang berproses, sang pencari, salik, pejalan yang tak kunjung selesai. Kehidupan pemikiran dan keyakinannya begitu dinamis. Ia pernah menjadi muslim tradisional, lalu menjadi sangat sekular, lalu menjadi pemikir Islam yang bebas tanpa terikat pada ormas keagamaan tertentu, lalu menjadi seorang Muhammadiyah, lalu ICMI, dan terakhir berlabuh pada Syi’ah.
Ketika pada masa di mana Kang Jalal belum berlabuh dan mendeklarasikan dirinya sebagai seorang Syiah di mata publik, ada beberapa bukunya yang sangat berpengaruh dan dibaca oleh hampir semua kalangan.
Setidaknya ada dua buku yang paling berpengaruh–berdasarkan pengalaman membaca saya–yaitu: Islam Aktual dan Islam Alternatif. Kedua buku ini diterbitkan Mizan. Saya membaca khatam bolak-balik ketika saya duduk di kelas tiga tsanawiyah Lirboyo. Saat itu Kang Jalal diposisikan publik sebagai intelektual bebas, tanpa tendensi pada aliran tertentu.
Terus terang saya terhipnotis dengan penjelasannya yang renyah, enak dibaca, komunikatif, dan dibumbuhi humor serta kisah yang mempersedap hidangan narasi yang dibangun.
Kedua buku Kang Jalal–tentu saja juga buku Pesantren Sebagai Sub-Kultur Gus Dur dan Islam Doktrin dan Peradaban Cak Nur–mampu mengambil hati saya untuk dengan berat hati memadu bacaan kitab-kitab kuningku. Saya akhirnya harus membagi waktu antara membaca kitab kuning dan kitab putih Gus Dur, Cak Nur, dan Kang Jalal.
Menjadi penasaran. Ketika saya ingin membeli kitab di Toko Sembilan Satu Kota Kediri, saya melihat buku Kang Jalal berjudul Rekayasa Sosial bersampul merah. Mataku berbinar-binar dan langsung saya baca seklias. Tanpa babibu saya membelinya. Dalam hati, uang wesel kiriman ibuku habis untuk beli buku.
Agak lemes memang. Mungkin teman-temanku mengira saya a-sosial atau pelit karena jarang nongkrong di warung jajan dan mengopi bersama mereka, dimaklumi karena mereka tidak tahu kalau uangku memang ludes untuk beli kitab dan buku. Yah, resiko kecanduan buku, kutubuku. Tidak apa apa. Suatu saat semoga teman-temanku memahami ini.
Saya membaca buku Rekayasa Sosial yang menarik sekali. Ada ulasan tentang kesalahan berfikir. Rekayasa yang diidentikan negatif, menurut Kang Jalal tidak tepat. Rekayasa itu sebetulnya baik. Saya pun belajar Rekayasa Sosial pada buku itu. Sampai kalau ada buku karya Kang Jalal apapun judulnya saya beli.