Jadi doa, menurut beliau, merupakan sebuah sarana untuk menangkal bala’/musibah dan mendatangkan rahmat. Sama seperti sebuah perisai yang dapat menangkal datangnya anak panah dan (membendung) air sehingga menjadi sarana bagi tumbuhnya suatu tanaman dari bumi. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa termasuk di antara takdir Allah, adalah tertangkalnya musibah berkat doa.
Selain itu, doa juga mengindikasikan bahwa kita memang benar-benar butuh Allah, nahnu faqiyrun. Sikap merendahkan diri dengan berdoa dihadapan Allah dan merasa butuh kepada-Nya itu sangat disukai oleh Allah SWT. Sebaliknya bila kita tidak berdoa maka Allah akan marah. Sebagaimana dinyatakan dalam satu bait syair yang terdapat dalam kitab tafsir Ibn Katsir ketika mengupas surat al-Fatihah:
الله يغضب إن تركت سؤاله و بني أدم حين يسأل يغضب
“Allah marah jika engkau tidak meminta (berdoa) kepada-Nya, Sementara manusia marah ketika dia diminta”.
Oleh karenanya seorang muslim sudah selayaknya tidak pernah berhenti berdoa. Mereka yang tidak mau berdoa mengindikasikan pada dirinya ada kesombongan, sebuah penyakit hati yang bisa menyebabkan dirinya nestapa di dunia dan di akhirat. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ لَمْ يَدْعُ اللَّهَ غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ
“Barangsiapa tidak berdo’a kepada Allah ta’aala, maka Allah ta’aala murka kepadaNya.” (HR. Ahmad)
Demikian, bila kita melihat makna sholat secara bahasa yang berarti doa. Panggilan “Hayya ‘ala ash-Sholah”, secara bahasa berarti ajakan kepada kita untuk merendahkan diri dihadapan Allah dengan berdoa.
Ketidaksombongan dan merendahkan diri di hadapan Allah lalu berdoa yang membawa optimisme, itulah salah satu kunci kebahagiaan. Bukankah saat berdoa kita bisa meminta kepada Allah agar diberi hati yang tenang, tidak gelisah, tidak stress bahkan depressi dalam menjalani kehidupan yang penuh dinamika dan banyak persoalan ini. Terlebih dalam kondisi saat ini dimana wabah Covid 19 membuat kondisi tidak menentu di hampir semua lini kehidupan kita.
Doa memang membuka harapan dan keyakinan kita untuk bersandar kepada Allah yang menguasai segala, sehingga paling tidak, doa akan memberikan efek kejiwaan kepada kita untuk bisa bertahan dan tetap optimis dalam situasi sulit serta yakin bahwa seberat apapun permasalahan yang kita hadapi sangat mungkin berakhir dan bahkan berubah dengan kuasa Allah SWT.
Tapi di satu sisi kitapun seyogyanya menyadari bahwa seandainya doa yang kita panjatkan ternyata belum dikabulkan, kita tidak boleh patah hati, karena kita adalah hamba yang hanya meminta dan berdoa, bukan penentu doa. Dan in syaa Allah doa yang belum terkabulkan tersebut akan menjadi amal sholeh kita di yaumil qiyamah.
Terlepas dikabulkannya atau tidak doa kita, yang jelas hal tersebut setidaknya menjadi bukti kehambaan kita kepada Allah SWT sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Athaillah as-Sakandariy dalam al-Hikam nya:
لا يكن طلبك تسبباً إلى العطاء منه فيقل فهمك عنه .وليكن طلبك لإظهار العبودية وقياماً بحقوق الربوبية
“Jangan maknai permintaanmu sebagai sebab atas pemberian Allah yang mana hal tersebut menunjukkan kekurangpemahamanmu terhadap-Nya. Hendaklah sadari bahwa permintaanmu adalah pernyataan kehambaan dan pemenuhan atas hak-hak ketuhanan.”
Akhir kata, dengan penjelasan makna sholat secara Bahasa di atas, bukan berarti saya—yang masih faqir ini— menafikan pengertian sholat secara istillah yang —in syaa Allah —akan kita bahas pada renungan berikutnya. Di mana kita akan mencoba mengupas hikmah dan ibrah dari sholat lima waktu yang kita tegakkan dan kaitannya dengan upaya kita menggapai kebahagiaan.
Wallahu a’lam.