Saya harus kembali geleng-geleng kepala, mengelus dada, berpikir bagaimana kekerasan seksual terjadi berulang kali di lingkup pesantren. Melelahkan sekali setiap hari melihat Youtube, Tik-tok, Twitter yang dipenuhi dengan berita korban kekerasan seksual. Apalagi semakin hari semakin aneh-aneh. Dahulu kita flashback ada ustaz yang memperkosa belasan santriwati dan baru-baru ini terjadi lagi kasus pencabulan yang dilakukan oleh putra kiai (MSAT) Ponpes Shiddiqiyyah, Jombang, Jawa Timur.
Jelas fenomena ini memalukan, terlebih hal ini dilakukan di pesantren yang notabene merupakan tempat belajar ilmu agama dan pendidikan akhlak yang sangat dihormati di masyarakat. Dalam pandangan sosiologi, keberadaan institusi sosial keagamaan seperti pesantren diharapkan dapat mencetak masyarakat semakin tertib, utuh, dan terkendali, sebab mereka diikat oleh norma dan pranata yang diketahui, disosialisasikan, diajarkan. Kemudian dipahami (ada penghayatan dan internalisasi), ditaati (sebagai keteraturan sosial, ketertiban dan keselamatan), dan dipraktekkan oleh sekelompok masyarakat agama.
Lembaga pesantren di era disrupsi jelas masih sangat dibutuhkan. Terlebih tujuan dan fungsi institusi keagamaan pesantren dibutuhkan di masyarakat untuk menegakan kaidah nilai, dan dogmatisme moral yang berorientasi bagi kebutuhan sosial. Institusi keagamaan pesantren juga berfungsi sebagai lembaga preventif bagi perilaku amoral, egoisme individu dalam masyarakat agama.
Lembaga pesantren bisa dibilang sebagai miniatur mini gambaran kehidupan dalam masyarakat. Secara sosial lingkup pesantren dapat kita lihat dimana adanya struktur dan solidaritas kelompok yang kuat ikatanya. Manifestasinya bisa kita lihat bagaimana di pesantren terdapat seorang pengasuh dan keluarga ndalem, pengurus, dan santri. Kemudian adanya ritus-ritus ibadah dan kegiatan basis agama yang ada didalamnya mengindikasikan bahwa pesantren adalah sarana latihan sebelum seseorang terjun di masyarakat.
Ditinjau dari segi ruang sosial, kawasan pesantren merupakan urban area yang heterogen. Heterogen disini adalah santri-santri yang berasal dari berbagai daerah wilayah di Indonesia. Kemudian stigma masyarakat yang menganggap pesantren sebagai tempat pendidikan akhlak tentu akan menganggap bahwa konflik asusila pasti minim terjadi. Akan tetapi realitanya, kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat terjadi di tempat-tempat yang dianggap seharusnya aman dari kekerasan justru menjadi tempat terjadinya kekerasan.
Jika dianalisis lebih dalam, kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh putra kiai Mas Bechi, Ponpes Shiddiqiyyah, Jombang Jawa Timur terjadi karena beberapa faktor. Sebut saja labelling masyarakat dan jemaah kepada Mas Bechi yang diberi simbol sosial berupa pemuka agama, cendekiawan muslim dan putra kiai atau dalam bahasa santri disebut ‘Gus’.
Tidak dapat dibantah fakta bahwa putra kiai ini memiliki wewenang dan jabatan tinggi di lingkungannya. Mas Bechi adalah pengajar sekaligus mempunyai bisnis penyembuhan non-medis lewat musik. Kemudian dicampurkan dengan unsur agama sehingga diklaim dapat menyembuhkan penyakit melalui gelombang elektromagnetik. Kemudian dia juga punya bisnis rokok, kopi, sampai dengan teh, sehingga putra kiai ini jelas orang terpandang di lingkungannya.
Kekerasan seksual yang dilakukan oleh Mas Bechi juga terjadi akibat relasi kuasa yang timpang dalam pesantren. Korban yang merupakan santri yang notabene sebagai unit paling terkecil di lingkup pesantren biasanya tidak mau melaporkan pelecehan atau kekerasan, terutama ketika pelakunya orang dekat, bisa anggota keluarga atau atasan. Keengganan atau ketakutan melapor karena masyarakat, bahkan beberapa pejabat tinggi kita, biasanya akan menyalahkan korban. Terlebih kekerasan seksual tersebut dilakukan oleh putra kiai yang sangat dihormati oleh para santri.
Lantas bagaimana kita bisa menyalahkan korban dalam kasus tersebut? Masihkan dengan alasan busana? kondisi tempat? waktu?. Jelas-jelas korban adalah santri yang dibekali ilmu agama, aurat mereka sudah tertutup dan ditempatkan di pesantren. Lantas mengapa masih jadi sasaran kekerasan seksual? Apakah salah agamanya? Atau manusianya?