Fakta mengejutkan lainya adalah pesantren ini masih abu-abu di mata masyarakat. Meskipun sudah berdiri sejak lama, tetapi fakta mencatat pesantren Shidiqqiyah tidak terafiliasi dengan ormas Islam seperti NU atau Muhammadiyah. Lalu apa yang mereka ajarkan? Seperti yang kita ketahui pesantren Shiddiqiyyah mengajarkan thariqah, yaitu thariqah Shiddiqiyah. Pesantren Shiddiqiyyah juga tidak termasuk dan tidak berafiliasi dengan Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah atau organisasi keagamaan milik NU, yang para anggotanya berfokus pada penerapan ajaran-ajaran thariqah.
Realitas di atas mengindikasikan pesantren Shiddiqiyyah dipertanyakan kredibilitasnya hingga cap radikal muncul di berbagai opini masyarakat. Hal itu dilandasi atas fenomena kekerasan seksual hingga ajaran kekerasan dan objektifikasi nilai apa yang diajarkan kepada santrinya. Padahal, pesantren dan ajaran agama selalu menuntun kita pada ajaran yang santun, sejuk, dan penuh kelembutan.
Kemudian, indikasi teks agama yang diterjemahkan secara leteral membuat orang terjebak pada agama yang praktis dan instan. Realitas ini banyak dimanfaatkan oleh tokoh yang berkedok agama. Pengabsahan agama yang diterima secara mentah-mentah oleh orang yang menerima internalisasi agama secara keliru sering menjadi celah masuknya paham radikalisme di institusi sosial-keagamaan.
Lantas bagaimana langkah yang bisa dibuat untuk meminimalisasi adanya kekerasan seksual di lingkup pesantren? Maka untuk meminimalisasi tindak asusila dan kekerasan seksual di lingkup pesantren sekiranya perlu dibuat kerangka eksternal dan internal berkaitan dengan penanggulangan kasus ini
Kerangka eksternal meliputi peningkatan, pengetatan dan pengawasan terhadap tata tertib pesantren dan tata laksana pedoman yang mengatur pemulihan korban. Bahkan sebisa mungkin dibuat kebijakan mengenai sosialisasi definisi mengenai kekerasan seksual itu sendiri. “Kalau tidak, bagaimana bisa orang tahu bahwa yang diatur adalah pelecehan atau kekerasan seksual”.
Selain itu penyediaan bantuan konseling dari biro psikologi atau visum fisik dan psikologis juga perlu diadakan di lingkup pesantren. Ini perlu diperhatikan, hal itu dikarenakan kerugian yang dialami korban kekerasan seksual tidak hanya material, tetapi juga non-material. Dampak traumatis dan stigma masyarakat mengenai korban menambah perasaan sedih mendalam dari para korban. Terlebih jika kita berkaca pada kasus tersebut adalah golongan santriwati yang jauh dari hingar-bingar dunia luar.
Penguatan kerangka eksternal tersebut dapat memperkuat kerangka internal seperti menguatkan solidaritas setiap kelompok dan selalu waspada bahwa kekerasan seksual bisa terjadi kepada siapapun dan kapanpun. Penguatan solidaritas kelompok bertujuan untuk memperkuat integritas sehingga terbentuk sikap anti kekerasan dan melindungi para korban.
Peristiwa kekerasan seksual di pesantren membuka pandangan baru dalam masyarakat. Di zaman yang ditandai oleh pesatnya dunia mistik-spiritual dalam kehidupan sosial manusia modern, maka masyarakat harus berhati-hati dan memfilter ideologi, dogma dan aliran yang ada dalam masyarakat.
Masyarakat harus jeli dalam mengecek kredibilitas pesantren, baik dari segi pendiri, latar belakang dan ritus-ritus ibadah didalamnya. Apakah kegiatan dan kehidupan di dalamnya sesuai dengan syariat agama atau tidak? Supaya fenomena kekerasan seksual dan jatuhnya korban tidak terjadi lagi.