YOGYAKARTA — Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menggelar dialog Kebangsaan antar umat beragama bertema Pembangunan Narasi Persatuan dalam Kebhinekaan dan Moderasi Beragama antar Tokoh Agama se-Indonesia. Acara yang bertempat di Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta ini dihadiri oleh kalangan akademisi dan ormas keagamaan se-Indonesia, mulai dari PBNU, PP Muhammadiyah, PGI, KWI, PHDI, Matakin, Permabudhi, Al Wasliyah, Al Khairaat, Persis, MUI, FKUB, dan organisasi masyarakat lainnya, Rabu (30/3).
Dalam sambutannya, Prof. Yudian menjelaskan pentingnya sosialisasi Salam Pancasila sebagai salam Kebangsaan yang menjadi tugas dan fungsi BPIP dalam membangun harmoni antar umat beragama di Indonesia. Ia mengatakan bahwa Sejarah dan latar belakang Salam Pancasila diadopsi dari Salam Merdeka Bung Karno yang dikumandangkannya pada awal kemerdekaan.
“Salam ini sejatinya dikenalkan Presiden pertama RI Soekarno pada 1945. Bung Karno bilang kita ini kemajemukannya berlapis-lapis. Supaya tidak repot dengan hal-hal sensitif, maka perlu ada salam pemersatu kebangsaan”, ungkap Prof. Yudian mengutip pernyataan Bung Karno.
Oleh karena itu, dicarilah salam yang bisa merangkum semua yang tidak menimbulkan perbedaan. Karena itu, Bung Karno mengusulkan salam merdeka yang bentuk gerakannya seperti Salam Pancasila sekarang ini.
“Karena itu, oleh Ibu Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Dewan Pengarah BPIP, salam merdeka Bung Karno diadopsi menjadi salam Pancasila”, tambahnya.
Bentuk gerakannya yaitu mengangkat tangan kanan lima jari di atas pundak sedikit. Ini maksudnya adalah mengamalkan kelima sila Pancasila dan harus ditanggung dan menjadi kewajiban bersama-sama rakyat Indonesia.
Kemudian, setiap jemari tidak berpisah. Pengertiannya adalah antara sila satu dengan yang lainnya saling menyatu dan menopang.
Selain mensosialisasikan Salam Pancasila, Prof. Yudian juga menyinggung soal konsensus dalam berbangsa dan bernegara. Menurutnya, legitimasi kebangsaan tertinggi bukan muncul dari suatu kelompok tertentu. Tetapi, ada di kebersamaan dan persahabatan.
“Artinya, konsensus merupakan sumber hukum tertinggi yang mengatur kehidupan. Untuk agama, konsensusnya adalah kitab suci masing-masing. Karena ini dalam kehidupan bernegara, maka konsensusnya termaktub dalam UUD 1945. UUD 45 itu isinya nilai-nilai keagamaan yang sudah disepakati bersama, tapi bahasanya memakai bahasa hukum”, tuturnya.
Karenanya, Prof. Yudian selalu menegaskan bahwa tidak ada toleransi tanpa konsensus. Karena, nanti masing-masing standarnya berbeda.
“Masing-masing nanti punya warna antara kelompok yang satu dengan yang lainnya”, tambah Prof. Yudian.