Dengan demikian, ibadah puasa sebetulnya didasarkan pada syari’at sebelum Islam (syar’u man qablana). Al-Qur’an (al-Baqarah [2]: 183) menyebutkan, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kalian, supaya kalian bertakwa”.
Sejumlah referensi menjelaskan bahwa Islam dalam fase Mekah tak mengenal puasa Ramadan. Puasa baru disyariatkan dalam periode Madinah. Menurut al-Juzairi, puasa Ramadan diundangkan tanggal 10 Sya’ban tahun kedua Hijriyah, atau 1,5 tahun setelah hijrah (Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Juz I, hlm. 416).
Menurut Syatha al-Dimyathi dalam I’anah al-Thalibin (Juz II, hlm. 215), selama 10 tahun tinggal di Madinah, Rasulullah SAW menjalankan puasa Ramadan hanya sembilan kali. Satu tahun pertama di Madinah, puasa Ramadan belum disyariatkan. Pada tahun itu, Nabi Muhammad dan umat Islam masih menjalankan puasa Asyura, melanjutkan kebiasaan puasa Asyura selama 13 tahun di Mekah. Dengan demikian, selama 14 tahun, Islam berjalan tanpa puasa Ramadan.
Dari kupasan itu kita tahu bahwa sejumlah Sahabat Nabi banyak yang meninggal dunia tanpa menjalankan puasa Ramadan. Khadijah binti Khuwailid, isteri Nabi Muhammad, pun tak pernah menjalankan puasa Ramadan. Bahkan, Khadijah juga tak sempat menjalankan shalat lima waktu, juga zakat, karena semuanya disyariatkan ketika yang bersangkutan sudah meninggal dunia. Namun, kita tak perlu panik dan masygul.
Khadijah tetap akan masuk surga walau tanpa shalat, tanpa zakat, dan tanpa puasa Ramadan. Tuhan Khadijah (tentu Tuhan kita semua) adalah Tuhan inklusif yang akan memasukkan hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh seperti Khadijah ke dalam surga.Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Abdul Moqsith Ghazali