Pertanyaan lainnya adalah apakah PBB menghalangi terhadap pelaksanaan jihad di jalan Tuhan?
Menurut Kiai Afifuddin Muhajir, jihad dalam Islam disyariatkan lantaran dua hal. Pertama, disebabkan pelanggaran terhadap negara Islam. Kedua, menghalang-halangi dakwah Islam yang dijalankan dengan damai. Sementara itu, PBB hanya mengecam/melakukan kriminalisasi terhadap peperangan yang sifatnya ofensif (menyerang terlebih dahulu/ dalam konteks sekarang menjajah) tanpa alasan apapun yang dibenarkan. Perang seperti itulah yang dilarang oleh PBB. Dengan demikian, PBB tidak pernah menghalangi jihad fi sabilillah yang berupa (1) perlawanan karena telah diserang musuh, (2) berdakwah dengan jalan damai.
Bahkan, tegas Kiai Afifuddin Muhajir, jihad fi sabilillah (dengan arti perang) dalam Islam bukanlah tujuan melainkan hanyalah perantara. Artinya, perang merupakan instrumen untuk mencapai suatu tujuan yaitu mendekatkan seseorang terhadap hidayah Tuhan untuk masuk Islam. Oleh karena itu, sering kali tujuan (hidayah) tersebut diperoleh tanpa jihad (perang). Sebagai argumentasi, Kiai Afifuddin Muhajir menyodorkan bukti sejarah bahwa tujuan dari jihad, yaitu hidayah, tidak mesti dengan perang. Misalnya, kaum Tatar yang pada awalnya dengan gagap gempita memporak-porandakan umat Islam di medan peperangan, hampir seluruh masyarakat muslim di dunia kecuali daerah Mesir kocar-kacir melawan kaum Tatar.
Namun yang menakjubkan ketika umat Islam telah luluh lantak rupa-rupanya kaum Tatar banyak yang masuk Islam. Tentu, mereka masuk Islam bukan lantaran pedangnya para mujahidin melainkan disebabkan dengan dakwahnya para dai yaitu disinyalir pengaruh murid-murid Syekh Abdul Qadir al-Jilani, tandas Kiai Afif. Selain itu, Indonesia juga bisa dijadikan sampel bahwa hidayah yang merupakan tujuan dari jihad tidak mesti dicapai dengan peperangan. Menurut Kiai Afifuddin Muhajir, tersebarnya Islam di Indonesia yang diprakarsai walisongo laksana tersebarnya api dalam sekam (lancar dan damai). Mengapa? Karena Islam yang baik, dibawa orang baik, dan diterima orang yang baik pula lalu kombinasinya menjadi Islam Nusantara (Islam yang Rahmatan lil ‘Alamin/santun).
Kedua, Ijmak
Apakah bisa PBB dianggap ijmak Internasional? Mula-mula Kiai Afifuddin Muhajir menyodorkan pertanyaan tersebut sebelum mengkaji lebih lanjut. Menurutnya, untuk membahas lebih dalam maka niscaya menengok kembali soal teori ijmak itu sendiri. Ijmak didefinisikan dengan beragam ungkapan akan tetapi yang dinilai terbaik oleh Kiai Afifuddin Muhajir adalah definisi yang dilontarkan oleh al-Tajuddin al-Subki.
وهو اتفاق مجتهد الأمة بعد وفاة) نبيها (محمد – صلى الله عليه وسلم – في عصر على أي أمر كان
“Ijmak adalah kesepakatan para mujtahid di kalangan umat Muhammad setelah beliau wafat menyangkut perkara apapun”.
Dalam Hasyiah al-Bannani, dikatakan bahwa perkara yang diijmak itu tidak hanya persoalan syar’iyah/agama melainkan juga kebahasaan dan dalam soal keagamaan. Bahkan Kiai Afifuddin Muhajir mengatakan bahwa, sebagaimana mengutip Abdurrahman saat memberikan catatan dalam soal ijmak, ijmak juga berlaku dalam soal duniawi semisal urusan peperangan, dan mengatur masyarakat maka wajib mengikuti ijmak yang dilakukan para mujtahid dalam hal tersebut.
Apakah ijtihad itu eksklusif dalam urusan fikih? Sehingga yang dikatakan mujtahid hanyalah orang-orang yang ahli fikih, dan yang bisa mengonstruksi ijmak adalah kalangan mujtahid dalam urusan fikih? Dengan tangkas, Kiai Afifuddin Muhajir mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan ijtihad dalam konteks memproduksi ijmak tidak ijtihad dalam domain fikih melainkan urusan apapun yang relevan sebagaimana juga dikatakan oleh Imam al-Razi.
Jika mengikuti logika ini, maka PBB sesungguhnya bisa dikategorikan ijmak yang wajib diikuti oleh umat?
Sayang, Kiai Afifuddin Muhajir tidak mengatakan secara tegas, justru beliau terkesan berpaling dengan cara menjelaskan unsur-unsur yang mesti terpenuhi dalam ijmak. Menurut beliau, unsur pertama adalah adanya beberapa mujtahid. Kedua, umat Islam. Ketiga, adalah konsensus di antara mereka baik secara eksplisit maupun secara implisit. Adapun hal-hal yang tidak mesti terpenuhi dalam ijmak adalah, pertama, ijmak tidak mesti dalam urusan agama tetapi juga bisa berupa hal yang berkaitan dengan duniawi. Konsekuensi dari ini, maka para mujtahid yang melakukan ijmak duniawi tidak mesti mujtahid syar’i (semisal mujtahid dalam urusan ekonomi, politik, strategi perang dan lain semacamnya).
Kendatipun demikian, salah satu syarat ijmak adalah Islam. Dengan ungkapan lain, ijmak hanya khusus umat muslim sehingga kesepakatan non-muslim menyangkut urusan apa saja tidak dianggap ijmak. Inilah yang dinilai oleh Kiai Afifuddin Muhajir muskil, mengapa dalam soal ijmak harus kaum muslim? Sementara dalam soal perawi hadis mutawatir tidak harus muslim menurut pendapat yang paling benar.
Dari penjelasan beliau di atas rupanya Kiai Afifuddin mencoba menggugat syarat-syarat ijmak yang mesti Islam. Namun terlepas dari hal itu semua, menurut Kiai Afifuddin Muhajir apa bila terjadi suatu konsensus di kalangan umat muslim kemudian non-muslim juga sepakat dalam soal itu maka konsensus tersebut tetap berstatus ijmak yang konsekuensinya adalah wajib diikuti. Artinya, jika non muslim ikut sepakat dalam hal yang disepakati kaum muslim maka kesepakatan tersebut menjadi ijmak. Apa lagi yang disepakati adalah hal-hal yang memang non muslim lebih ahli semisal soal sains dan kedokteran.
Singkatnya, menurut sepemahaman saya dari penjelasan Kiai Afifuddin Muhajir tersebut adalah PBB merupakan suatu kesepakatan umat Islam yang kemudian non-muslim juga sepakat sehingga PBB adalah ijmak yang berimplikasi terhadap kewajiban untuk menghormati dan mematuhi norma-norma PBB?
Kesimpulannya, sebagai closing statement Kiai Afifuddin Muhajir mengatakan sebagai berikut.
وإنطلاقا من بيان السابق نستطع أن نقول إنّ ميثاق الاؤمم المتحدة التي صدّقت عليه دول العالم بالمثابة الاجماع العالم و يكون حجة على مجتمع العالم يجب عليهم إحترامه و اجزامه به
“Berangkat dari penjelasan di atas, kita bisa mengatakan bahwa Perjanjian PBB yang telah dikukuhkan oleh negara-negara sedunia dengan di posisikan Kesepakatan Internasional dan menjadi hujjah atas dunia internasional maka wajib menghormati dan berpegangan dengannya”. (Ma’had Aly)