Halaqah Fikih Peradaban di Pondok Lirboyo terlihat lebih istimewa ketimbang halaqah lainnya yang telah digelar di beberapa pesantren. Sebab, dalam forum itu materinya disuguhkan dengan bahasa Arab. Termasuk Kiai Afifuddin muhajir – tentu ini penilaian subjektif kami sebagai santrinya – yang walaupun tidak pernah melakukan studi ke Timur Tengah namun bahasa arab beliau sangatlah lancar dan yang inti mudah dipahami oleh orang seawam saya. Hal itu, lantaran Kiai Afifuddin Muhajir menggunakan bahasa arab yang fusha.
Selain itu, ada pembicara dari “Barat” maupun “Timur”. Barat diwakili oleh Dr. Thomas Dinham (USA) sedangkan dari Timur adalah Syaikh Abdul Jawad Yasin (Mesir), dan yang tidak kalah penting dalam forum luar biasa itu dipandu oleh Nyai lulusan al-Azhar, Mesir tulen –kata Gus Yahya. Mulai dari jenjang S1, S2 hingga porgram doktoralnya diraih di sana, yaitu Nyai Dr. Iffah Umniyati Ismail, Lc, MA.
Sebagaimana dipaparkan di muka, Kiai Afifuddin Muhajir menjelaskan tentang PBB dalam Timbangan Syariat. Setidaknya ada beberapa pertanyaan yang dirumuskan oleh beliau untuk dijawab. Pertama, kalau piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memiliki legalitas formal secara syariat, maka dari mana penggalian legalitas tersebut? Kedua, kalau Perserikatan Bangsa-Bangsa itu memiliki legalitas formal secara syariat dan berdasarkan asas syariat, lantas apa konsekuensinya?
Sebelum itu, Kiai Afifuddin Muhajir mengulas sekilas tentang tujuan dan maksud dideklarasikannya PBB itu sendiri. Menurutnya, sebagaimana maklum gagasan PBB ini pertama kali muncul pada 1 Januari 1942 dalam sebuah deklarasi yang bernama Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa. Deklarasi tersebut dilaksanakan selama Perang Dunia Kedua saat perwakilan 26 negara berjanji untuk bekerja sama kepada pemerintahnya masing-masing dalam melawan Axis Power atau kekuatan Axis yang terdiri dari Jerman, Italia, dan juga Jepang. Akhirnya, PBB pun resmi dibentuk pada 24 Oktober 1945 dengan dipelopori oleh Amerika Serikat, Rusia, Prancis, Inggris, dan Cina.
Adapun tujuan dari perserikatan tersebut antara lain adalah menyelamatkan generasi masa depan dari bencana perang berkepanjangan, menegaskan hak asasi manusia, menciptakan kondisi di mana keadilan serta kehormatan atas kewajiban yang muncul dari perjanjian dan hukum internasional, dan beberapa tujuan lainnya. Jika melihat tujuan-tujuan tersebut sekiranya tidak ada yang bertentangan dengan syariat yang memang menghormati kemanusiaan, misalnya. Atau sangat menganjurkan perdamaian dan keseimbangan hidup.
Lebih jauh Kiai Afifuddin Muhajir menawarkan dua hal yang bisa dijadikan landasan bagi legalitas formal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam pandangan Syariat. Pertama, konsep Wujub al-Wafa (kewajiban melaksanakan kesepakatan/kontrak/janji). Rupanya Kiai Afifuddin Muhajir mengategorikan PBB sebagai Perjanjian Internasional yang wajib dilaksanakan. Dalam hal ini, ada banyak dalil dalam ajaran Islam yang memerintahkan untuk melaksanakan perjanjian. Antara lain, sebagaimana disebutkan Kiai Afifuddin Muhajir, tertera dalam QS. al-Maidah [5]: 1.
[المائدة: 1] يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman penuhilah janji/kontrak/akad itu…” (QS al-Maidah [5]: 1).
Dalam ayat tersebut ada dua hal yang perlu diperhatikan, pertama, kalimat أَوْفُوا merupakan kalimat amar yang pada asalnya bermakna ijab. Sehingga seruan untuk menunaikan janji adalah wajib. Selain itu, frasa الْعُقُودِ bersifat umum yang mengakomodir seluruh refrennya yang layak untuk kalimat tersebut, di antaranya adalah PBB yang merupakan kontrak masuk juga dalam cakupan kalimat al-‘uqud. Oleh sebab itu, Kiai Afifuddin Muhajir mengutip Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur yang mengatakan bahwa seluruh kontrak yang tidak diharamkan oleh syariat masuk dalam cakupan keumuman ayat di atas.
وَمِنَ الْعُقُودِ الْمَأْمُورِ بِالْوَفَاءِ بِهَا عُقُودُ الْمُصَالَحَاتِ وَالْمُهَادَنَاتِ فِي الْحُرُوبِ، وَالتَّعَاقُدُ عَلَى نَصْرِ الْمَظْلُومِ، وَكُلُّ تَعَاقُدٍ وَقَعَ عَلَى غَيْرِ أَمْرٍ حَرَامٍ
“Di antara akad-akad yang diperintahkan untuk dipenuhi adalah akad damai dan gencatan senjata dalam perang, akad untuk membantu (orang/bangsa) yang dizalimi dan seluruh kesepakatan dalam segala hal yang tidak haram” (al-Tahrir wa al-Tanwir, 6/76).
Lebih jauh Kiai Afifuddin Muhajir juga memaparkan satu hadis yang termaktub dalam kitab Shahih Muslim (3/1414) yang menceritakan kisah Hudzaifah bin al-Yaman. Kala itu, Hudzaifah dan ayahnya, bernama Abu Husail yang tinggal di Makkah ingin pergi ke Madinah untuk membatu Nabi Muhammad dalam pertempuran Badar melawan orang kafir Makkah. Sayang, keduanya berhasil diringkus oleh kafir Quraisy sebelum rencananya terlaksana. Keduanya pun diinterogasi dan bahkan ditawan. Akan tetapi, setelah terjadi perundingan dan negosiasi, Hudzaifah dan ayahnya ditawari kesepakatan (kontrak/perjanjian) bahwa mereka diberi izin pergi ke Madinah dengan syarat tidak boleh ikut serta bersama Nabi dalam perang Badar melawan orang Quraisy Makkah.
Setelah kontrak disepakati, keduanya pun pergi ke Madinah dan mengabarkan kepada Nabi tentang kesepakatan tersebut. Mendengar berita yang disampaikan Hudzaifah dan ayahnya, lalu Nabi Muhammad bersabda.
فَقَالَ: «انْصَرِفَا، نَفِي لَهُمْ بِعَهْدِهِمْ، وَنَسْتَعِينُ اللهَ عَلَيْهِمْ»
“Pulanglah kalian berdua (ke Makkah), kita (wajib) memenuhi kontrak dengan mereka (kafir Makkah) dan kami memohon pertolongan kepada Allah atas mereka (di perang badar)” (HR. Muslim).
Mengomentari hadis di atas, Kiai Afifuddin Muhajir menegaskan.
ففي هذ الحديث دلالة على أنه يجب الوفاء بالعهد و لو كان مع الكفار و تقديمه على الدخول فى الميدن الجهاد في سبيل الله ولو كان فيه النبي
“Maka dalam hadis ini menunjukkan bahwa wajib hukumnya untuk memenuhi perjanjian kendatipun bersama orang kafir, dan wajib mendahulukan pemenuhan janji ketimbang hadir di medan peperangan di jalan Tuhan kendatipun di sana ada Nabi (Muhammad)”.
Dari ungkapan Kiai Afifuddin Muhajir ini bisa kita pastikan bahwa di era melinial ini – di mana Nabi Muhammad sudah tidak ada dan tinggal pewarisnya yang terkadang sulit ditentukan mana yang benar – maka hendaknya untuk memenuhi perjanjian damai ketimbang menuruti seruan jihad oleh sebagian kelompok atas nama Islam tanpa cara-cara yang “jihadiyah” (santun). Kongkretnya, kita wajib menjaga NKRI sebagai kontrak bersama dari pada memenuhi panggilan segelintir orang yang menyeru untuk memerangi NKRI atas dalih jihad.
Kewajiban melaksanakan perjanjian ini berkonsekuensi dosa jika tidak dilaksanakan atau mengingkari secara sepihak. Bahkan menurut Kiai Afifuddin Muhajir termasuk dosa yang paling besar sebagaimana mengutip pendapat Ibnu Hajar dalam kitab al-Zawajir. Dan kewajiban pemenuhan janji meliputi pada semua perjanjian, baik janji yang terjadi antar individu maupun secara komunal.
Beririsan dengan itu, menurut Kiai Afif, PBB bukanlah perjanjian antara person dengan person, per-kelompok ataupun antara muslim dan non-muslim, melainkan perjanjian Internasional (perjanjian seluruh masyarakat dunia yang diwakili parlemen negara). Seharusnya, memenuhi perjanjian dalam PBB itu lebih diprioritaskan karena mencakup seluruh manusia di muka bumi.
Namun demikian, kewajiban memenuhi perjanjian tersebut tidaklah berlaku secara bebas akan tetapi harus memperhatikan rambu-rambu syariat. Yaitu tidak menyimpang dari pakem syariat dengan menghalalkan hal yang diharamkan oleh syariat dan sebaliknya, menghalalkan sesuatu yang diharamkan syariat.
Pertanyaannya, apakah PBB melanggar atau menyeleweng dari syariat?
Sepanjang pengetahuan Kiai Afifuddin Muhajir tidak ada pasal-pasal yang tercantum dalam PBB yang melanggar terhadap rambu syariat. Menurutnya, yang ada hanyalah interpretasi serampangan dari pasal tersebut dengan klaim-klaim yang menyimpang, misal, LGBT mengklaim diri dari bagian PBB. Padahal sesungguhnya merupakan cabang yang diambil dari prinsip PBB berupa hak asasi manusia dan kebebasan tanpa dasar.