اِنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ, وَلَهُ مَا أَعْطَى , وَ كُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسِمَّى, فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ.
“Sesungguhnya bagi Allah apa yang diambil, dan bagi Dialah apa yang diberi. Segala sesuatu mempunyai masa (ajal) yang telah ditentukannya. Maka bersabarlah dan janganlah merasa kehilangan.”
Kemudian putrinya mengutus seseorang kepada Rasul SAW dengan bersumpah kepadanya agar Rasul mendatanginya. Maka bangkitlah beliau bersama Sa’ad bin Ubadah, Muadz bin Jabal, Ubay bin ka’ab, Zaid bin Tsabit dan yang lainnya. Kemudian anak kecil itu diangkat kepada Rasul SAW dan mendudukkannya dalam buaiannya, sementara nafasnya tersendat-sendat, sehingga berlinanglah air mata beliau. Sa’ad bertanya,” Ya Rasulallah, apa artinya ini?” Beliau bersabda:” Ini adalah kasih sayang yang telah Allah SWT tanamkan dalam hati para hamba-Nya.”
Dari Ibnu Umar dari Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya setiap pohon memiliki buah, dan buahnya hati adalah anak. Sesungguhnya Allah tidak menyayangi orang yang tidak sayang kepada anaknya, demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya tidak akan masuk surga kecuali orang penyayang. Kami berkata: Wahai Rasulullah setiap kami menjadi orang penyayang, Beliau bersabda: Seorang penyayang bukanlah orang yang (sekedar) menyayangi temannnya tapi menyayangi semua ummat manusia ( lihat Kasyf al-Astar ‘an Zawaid al-Bazzar ‘ala Kutub as-Sittah, karya al-Hafizh Nuruddin Ali bin Abi bakar al-Haytsami, juz 2, hadits no. 1889).
Seyogyanya sifat kasih sayang yang Allah tanamkan di hati kita ini dijaga dan dirawat sehingga perasaan ini akan terus memberikan dorongan ruh kepada kita dalam mendidik dan merawat anak-anak kita. Mengapa saya katakan harus kita jaga dan rawat? Karena terkadang ada orang tua yang kosong dari perasaan ini, yang akhirnya bersifat kasar dan keras dalam mendidik dan dan merawat anak-anaknya.
Dalam Kitab Tarikh Ibn Khaldun pada fasal keempat puluh, Ibnu Khaldun pernah mengingatkan bahaya sikap keras dan kasar dalam pendidikan. Dia menjelaskan bahwa pendidikan yang didasari oleh sikap kasar dan keras seringkali menghasilkan manusia-manusia suka berbohong, munafik, dan memiliki kepribadian rapuh. Lalu beliau melanjutkan, jika kita sebagai orang tua bersikap kasar dan keras, sikap yang demikian seringkali mendorong anak menjadi pembohong dan suka memperlihatkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang tersimpan (dalam hatinya)—atau yang sesungguhnya. Hal itu dilakukan anak karena rasa takut terhadap sikap kasar dan keras orangtua. Jika dia telah mengetahui cara melepaskan diri dari hukuman, maka lama kelamaan sikap yang demikian akan menjadi kebiasaannya.
Dengan demikian, rusaklah potensi nilai-nilai kebaikan yang ada dalam dirinya. Bila sudah demikian, si anak akan menyandarkan segala kebaikan atas usaha orang lain dan hilanglah jiwa kemandirian dalam dirinya. Akhirnya, sang anak tumbuh menjadi manusia yang malas dan tidak bersemangat dalam melakukan kebaikan.