Ia menilai insiden jilbab di sekolah negeri itu sebagai sebuah praktik intoleransi yang cukup kontradiktif dengan visi misi dan jargon Kementeraian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang mengusung ‘Merdeka Belajar’. Pasalnya, seharusnya sekolah menjadi tempat yang nyaman bagi siswa untuk mengembangkan diri dan memahami nilai-nilai kewarganegaraan yang sesuai dengan semangat Pancasila.
“Katanya ‘Merdeka Belajar’, tapi siswa tidak boleh punya pilihan. Sekolah harusnya mengajarkan saling menghargai, ajari sikap dan karakter sebagai murid itu apa, tugas dan kewajiban murid, itu yang seharusnya dijelaskan oleh sekolah. Mau pakai jilbab itu baik, tidak pakai juga tidak apa-apa, tidak boleh menghakimi mereka yang berbeda,” tegas Musdah.
Musdah mengatakan dalam praktiknya masih sering ditemukan oknum yang secara tidak sadar menghancurkan nilai toleransi berkedok imbauan. Hal ini menjadi sesuatu yang mengerikan karena terjadi praktik pelabelan dan penilaian buruk terhadap seseorang yang berbeda yang bahkan sudah diajarkan sejak dini.
“Kadang oknum menjustifikasi bahwa berjilbab adalah iimbauan. Tapi dalam prakteknya ada sikap tidak menyenangkan, memberi penilaian jelek pada seseorang yang tidak berjilbab, serta pelabelan lain. Itukan pandangan yang salah dan berbahaya. Karena dalam beragama tujuannya adalah tentang keluhuran budi,” ujar mantan Wakil Sekjen PP Muslimat NU ini.
Dalam hal ini, ia mengungkapkan, pentingnya peran dan kompetensi guru untuk lebih didorong terkait kompetensi keberagamaannya. Serta bagaimana pemerintah maupun dinas pendidikan mampu menyusun indikator keberhasilan pendidikan yang menekankan pada karakter luhur dan budi pekerti.
Menurut Musdah, masalah intoleransi di sekolah ini sangat menakutkan. Bahkan masalah ini sudah terjadi di level Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dimana sudah mengajarkan segregasi, permusuhan, kebencian terhadap yang berbeda. Parahnya hal itu tumbuh di lingkungan keluarganya yang sayangnya tidak mengerti agama. Oleh karenanya Musdah mewanti-wanti agar semua pihak tidak salah arah.
“Masalah ini tidak bisa kita lepaskan begitu saja sebagai tanggung jawab negara. Masyarakat sipil harus diperkuat literasinya, sehingga terdorong pula tanggung jawabnya,” katanya.