SIAPAPUN yang membaca karya-karya Abu al-A’la al-Maududi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab akan langsung jatuh cinta. Sebagian besar karyanya ditulis dengan bahasa Urdu. Ia menyukai puisi-puisi Muhammad Iqbal dan sastra Persia. Di kemudian hari, ia menjadi wartawan pejuang; wartawan yang memperjuangkan ide-ide besar, bukan wartawan komersial. Sejauh ini tidak ada tidak ada karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang memikat karena ruh al-Maududi kehilangan keindahannya.
Al-Maududi adalah seorang tokoh yang telah berhasil membentuk sebuah generasi. Ia relatif orisinil, karena tidak dipengaruhi oleh para pemikir Timur Tengah, justru karya-karyanya banyak mempengaruhi para pemikir Timur Tengah, terutama Sayyid Qutb. Al-Maududi mulai menulis gagasan soal jihad pada tahun 1930-an, sedangkan Sayyid Qutb menulis “Ma’âlim fî al-Tharîq” pada tahun 1960-an. Tetapi kalau kita bandingkan antara teori al-Maududi dan Sayyid Qutb, keduanya hampir sama persis. Ketika Sayyid Qutb menafsirkan surat al-Taubah tentang jihad itu mirip dengan teori jihad al-Maududi.
Kitab “al-Jihâd fî Sabîlillâh” ini sebenarnya hanyalah risalah kecil, 23 halaman. Pada saat menulis kitab ini, al-Maududi sedang mengalami suasana yang mirip dengan suasana sekarang ini; jihad dicitrakan sebagai sesuatu yang sangat jelek. Para orientalis Barat menyebut tidak ada perbedaan antara jihad dengan ekspansi ke negara lain, tidak ada bedanya dengan kolonialisme Belanda, imperialisme Inggris, dll. Dengan demikian, tujuan al-Maududi menulis kitab ini adalah untuk mengoreksi definisi jihad, meskipun pemikirannya belakangan menginspirasi gerakan terorisme kaum jihadis radikal di berbagai belahan dunia.
Di dalam kitab ini al-Maududi dengan tegas menolak pandangan Barat bahwa jihad tidak beda dengan kolonialisme dan eksploitasi. Menurutnya, orang-orang Barat terbiasa memaknai kalimat “jihad” dengan “perang suci” (holy war). Mereka menerjemahkannya dengan bahasa mereka. Mereka menafsirkannya dengan makna-makna yang tidak sesuai. Puncaknya, mereka memandang jihad sebagai aksi brutal, liar, dan penumpahan darah.
Al-Maududi mengatakan bahwa Islam adalah agama revolusioner yang hadir untuk meruntuhkan sistem sosial dunia secara menyeluruh, menggantinya dengan kaidah-kaidah dan bangunan baru. Revolusi harus dilakukan untuk melawan sistem non-Islam dan menggantinya dengan sistem Islam. Islam diajukan sebagai sistem alternatif untuk menggantikan sistem sekular. Apa bedanya antara revolusi Islam dan revolusi komunis atau sekular? Keduanya beda jauh, kata al-Maududi. Revolusi Islam dipandu oleh wahyu. Di dalam revolusi Islam tidak ada interes pribadi seperti kapitalisme atau tidak ada konflik kelas seperti revolusi komunis. Revolusi Islam murni bersifat ilahiyah.
Di dalam Islam, kata al-Maududi, perubahan revolusioner itu tidak bisa dilakukan kecuali dengan jihad—seolah-olah ia ingin mengatakan bahwa jihad adalah revolusi, revolusi adalah jihad. Jihad adalah perjuangan yang terus-menerus demi terwujudnya perubahan revolusioner tersebut.
Menurut al-Maududi, Islam di dalam dakwahnya menghindari penggunaan istilah-istilah yang umum digunakan oleh gerakan-gerakan selain Islam. Islam selalu menggunakan istilah-istilah khusus supaya tidak bercampur aduk antara dakwah dan gagasan-gagasan Islam dengan dakwah dan gagasan-gagasan yang lain. Jihad adalah di antara istilah yang diakui Islam untuk menyampaikan misinya dan menjelaskan rincian dakwahnya. Islam menghindari penggunaan istilah “harb” dan istilah-istilah lain yang bermakna “qitâl/war” (perang) di dalam bahasa Arab, menggatinya dengan “jihad” yang bermakna “pengerahan daya dan upaya”, sinonim dengan kata “struggle” di dalam bahasa Inggris. Hanya saja “jihad” lebih efektif dan lebih konprehensif maknanya.
Apa yang menyebabkan Islam lebih memilih kata “jihad” daripada istilah-istilah kuno yang sangat populer sebelumnya? Menurut al-Maududi—dan ia sangat yakin dengan itu—, sebabnya hanya satu, yaitu karena “harb” telah dan akan terus dimaknai “qitâl” (perang) yang apinya terus menyala-nyala di antara para pemimpin, golongan, dan suku untuk kepentingan pribadi. Tujuan-tujuan yang melekat pada perang-perang semacam itu tidak lebih dari sekedar tujuan-tujuan individu atau sosial, sama sekali tak tercium aroma ide atau untuk mempertahankan prinsip atau ideologi.
Karena perang yang disyariatkan di dalam Islam tidak melalui perang-perang seperti itu, maka tidak ada kewajiban sama sekali untuk menggunakan istilah “harb”. Islam tidak melihat kepentingan suatu umat tanpa umat yang lain, tidak bermaksud membangkitkan suatu bangsa tanpa bangsa yang lain, juga tidak memperdulikan apakah bumi—sedikit atau banyak—dikuasai oleh kerajaan ini atau itu. Islam hanya perduli pada kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia. Islam memiliki ide khusus dan metode terbaik/ideal untuk mewujudkan kebahagiaan umat manusia dan mengantarkan mereka menaiki tangga-tangga kemenangan dan keselamatan.
Setiap sistem pemerintahan yang berlandaskan pada ide dan metode yang tidak sejalan dengan ide dan metode Islam, akan diperbaiki dan disempurnakan secara menyeluruh oleh Islam. Dalam hal ini, Islam tidak mempersoalkan negeri-negeri yang di dalamnya berlaku sistem-sistem tersebut, termasuk masyarakat dan para penyelenggara pemerintahan. Tujuan Islam hanyalah menyebarkan ide dan metodenya, atau menjadikannya superior di antara masyarakat dunia, memberlakukan sistem-sistem pemerintahan baru yang islami dan meneguhkan pilar-pilarnya berdasarkan ide dan metode tersebut, tanpa melihat siapa yang akan membawa panji kebenaran dan keadilan.