Seperti ungkapannya: “Engkau cinta apa yang dicintai Allah, engkau benci apa yang dibenci-Nya, engkau memohon Ridha-Nya, engkau tolak sekalian yang akan merintangi engkau menuju Dia. Jangan takut akan kebencian orang yang membenci. Dan jangan mementingkan diri dan melihatnya, karena dinding yang sangat tebal untuk melihat-Nya ialah lantaran melihat diri sendiri.”(Hamka,Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya, hlm 100)
Dengan demikian, jelaslah bahwa paham al-Misri tentang mahabah terhadap Allah, adalah dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya, berserah diri sepenuh hati kepada-Nya, dan mengosongkan jiwa dari selain Allah. Itu artinya, seorang hamba harus mengutamakan Allah daripada kepentingan liannya tidak terkecuali kepentingan dirinya sendiri.
Puncak Mahabah menurut al-Misri
Akan tetapi untuk mencapai puncak mahabah tersebut, menurut al-Misri, seorang hamba haruslah melalui maqamat dan ahwal(al-Taubah, al-Sabr, al-Tawakkal, dan al-Ridha) yang terbilang cukup berat dan panjang. Oleh karenanya, kebanyakan orang jarang bahkan tidak bisa untuk mencapainya; melainkan dia tengah memperoleh rahmat serta karunia dari Allah yang diberikan langsung kepadanya.
Bahkan, al-Misri mengatakan bahwa kebanyakan orang-orang awam akan mengalami kesulitan untuk memahami arti cinta (mahabah) tersebut. Pasalnya,mahabahadalah termasuk pengalaman batiniah yang hanya dapat dipahami oleh orang-orang khawas (golongan mukmin yang beramal semata-mata karena Allah). Sebagaimana pernyataan dia di dalam syairnya:
Takut lebih pantas bagi orang yang berdosa
Bila ia merasa susah dan sedih
Cinta lebih pantas bagi orang yang takwa
Dan bagi orang yang suci dan bersih.
Demikianlah, konsep mahabah dalam pemikiran tasawuf yang digagas oleh Dzunnun al-Misri. Wallahu A’lam