Kelima
الرأى الخامس : الحكم للسلطان, فإن كان كافرا كانت الدار دار كفر ولو كانت الرعية كلهم مؤمنين, وإن كان مسلما كانت الدار دار اسلام ولو كانت الرعية كلهم كفارا.
“Dilihat siapa penguasanya/pemimpinnya. Jika ia Non-Muslim, maka ia bukan negara Islam, meskipun seluruh rakyatnya Muslim. Jika orang Muslim, maka ia negara Islam, walaupun semua rakyatnya Non-Muslim”. (Dr. Khalid al-Fahdawi, Al-Fiqh al-Siyasi al-Islamy, Dar al-Awail, Damaskus, Siria, th. 2008, Cet. III/246-247).
Berbeda dari semua pendapat di atas adalah pendapat Imam Abu Hanifah. Imam al-Shan’ani, ulama besar dari Yaman mengatakan:
أن المقصود من إضافة الدار الى الاسلام والكفر ليس هو عين الاسلام والكفر وإنما المقصود هو الامن والخوف…. والاحكام مبنية على الامان والخوف. فكان اعتبار الامان والخوف اولى”. (الكسانى, بدائع الصنائع فى ترتيب الشرائع, دار الكتاب العربى, بيروت, ط 2, 1982, ص 131.).
“Negara disebut negara Islam atau bukan, tidak dilihat dari aspek formalitasnya. Tetapi pada substansinya. Apakah ia aman damai atau kacau balau dan ketakutan. Jika negara itu aman damai, maka ia negara Islam. Jika ia kacau-balau, penuh kekerasan dan menakutkan maka ia bukan negara Islam”. (Badai’ al-Shanai’ fi Tartib al-Syarai’, Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut, cet. II, 1982, Juz VII, hlm. 131).
Pertanyaan kita adalah apakah salah satu atau semua kriteria di atas masih relevan untuk dunia hari ini?. Masih adakah negara di dunia modern ini yang menggunakan kriteria tersebut?.
HM
Baca Juga:
Eksistensi dan Peran Ulama Perempuan