Jumat, Agustus 12, 2022
  • Login
  • Register
islamina.id
  • Beranda
  • Kabar
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Wawancara
  • Bulletin
    • Bulletin Islamina
    • Bulletin Jumat
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Wawancara
  • Bulletin
    • Bulletin Islamina
    • Bulletin Jumat
No Result
View All Result
islamina.id
No Result
View All Result
Home Biografi
Martin Van Bruinessen Dan Kitab Kuning

Martin Van Bruinessen Dan Kitab Kuning

Martin van Bruinessen dan Kitab Kuning

Roland Gunawan by Roland Gunawan
18/06/2021
in Biografi, Tajuk Utama
7 0
0
7
SHARES
140
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WAShare on Telegram

Islamina.id – Martin van Bruinessen adalah seorang antropolog yang di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya NU, sangat tidak asing. Bukunya yang berjudul “Kitab Kuning; Pesantren dan Tarekat” yang merupakan hasil penelitiannya di tahun 80-an sudah sangat dikenal oleh para tokoh pesantren, bahkan mungkin menjadi buku babon yang harus dibaca oleh siapa saja yang melakukan penelitian tentang kitab kuning.

Martin mengawali kiprahnya di Indonesia dengan bekerja di LIPI sebagai konsultan metodologi dalam suatu proyek penelitian mengenai sikap dan pandangan hidup ulama Indonesia. Baginya, proyek LIPI ini adalah suatu kesempatan sangat unik yang tidak pernah diperoleh oleh para peneliti lainnya. Sebagai konsultan ia juga mendapat kesempatan untuk penelitian dalam rangka mendampingi peneliti-peneliti Indonesia. Dan untuk itu, ia mengunjungi hampir seluruh provinsi di Indonesia.

BacaJuga

Bulletin Jum’at Al-Wasathy | Edisi 037

Jelang 2024, MUI: Tolak Politisasi Agama dan Politik Identitas

Bulletin Jum’at Al-Wasathy | Edisi 036

Ketertarikan Martin kepada kajian mengenai kitab kuning berawal dari kedekatannya dengan Djohan Effendi, konsultan proyek di LIPI dan peneliti senior dari Departemen Agama. Djohan memperkenalkannya pada kajian tentang kitab kuning. Saat itu Djohan menulis satu daftar kitab-kitab penting yang pernah dikajinya. Dari sinilah Martin kemudian berpikir dan mulai tertarik untuk melihat apakah ada perbedaan kitab-kitab yang ada di dalam pesantren. Ia berasumsi pesantren ibarat kerajaan, dan karenanya tentu punya budaya tersendiri.

Muncul pertanyaan, apakah melalui kitab-kitab kuning dapat dilihat perbedaan antara suatu daerah dengan daerah lain atau antara pesantren yang eksklusif dengan pesantren yang inklusif? Apakah melalui kitab-kitab itu dapat dilihat terjadinya proses islamisasi Nusantara yang berbeda-beda, misalnya antara di Aceh dengan di Sumatera Utama, dan apakah di setiap daerah mempunyai sejarah yang berbeda? Karena Islam datang dari negara lain atau dari arah lain dan ada beberapa tokoh yang mempunyai pengaruh sangat besar di daerahnya masing-masing; di daerah-daerah itu kadang-kadang ditemukan kitab yang ditulis oleh tokoh lokal, seperti Nafis al-Banjari atau Muhammad Arsyad al-Banjari di Banjarmasin, atau beberapa kiyai Betawi yang sangat terkenal, seperti Kiyai Masri Betawi. Kalau semua kitab kuning yang ada itu dikumpulkan, apakah bisa menyimpulkan tentang perbedaan budaya-budaya itu?

Pertanyaan-pertanyaan itu mendorong Martin mengumpulkan kitab-kitab kuning. Ia datangi seluruh provinsi di Indonesi, dan di setiap kota ia selalu mencari toko kitab dan membeli semua kitab yang berhuruf Arab; bahasanya bisa Arab, Melayu, Jawa, Sunda, Madura, dan Aceh. Dari hasil petualangannya itu terkumpul lebih dari 1000 kitab.

Sekitar 100 tahun lalu ada seorang ahli hukum asal Belanda, yaitu L.W.C. Vandenberg, yang juga mengetahui bahasa Arab dengan baik, pernah menulis artikel pendek mengenai kitab-kitab yang dipakai di pesantren. Ia membuat suatu kesimpulan, setelah mengoleksi sekian banyak kitab kuning, bahwa kitab kuning yang dipakai di pesantren hanyalah kitab fikih. Berdasar tulisan L.W.C. Vandenberg ini, Martin kemudian berpikir, apakah setelah 100 tahun kemudian terjadi pergeseran atau perkembangan? Apakah kitab yang dipakai sekarang berbeda, kajiannya lebih canggih, lebih bervariasi, atau malah ada penurunan? Atau mungkin terjadi satu pergeseran dari satu ilmu keagamaan kepada ilmu yang lain?

Dari 1000 kitab kuning yang dikoleksinya, Martin kemudian membuat klasifikasi. Dan dari klasifikasi ini kesimpulan yang ia dapatkan adalah, bahwa kitab fikih masih mendominasi di pesantren. Tetapi kitab kumpulan hadits dan kitab tafsirnya justru mulai banyak dipelajari di pesantren dibandingkan 100 tahun sebelumnya. Salah satu kesimpulannya, ia berpendapat bahwa gerakan reformis yang menekankan “kembali ke al-Qur`an dan hadits” juga mempunyai dampak di pesantren. Tidak mengherankan jika di pesantren mulai banyak menekankan studi hadits dan tafsir.

Temuannya yang lain, terutama di daerah Jawa, dan ini yang tidak dilihat oleh L.W.C. Vandenberg, namun sangat menonjol, adalah bahwa banyak sekali kitab fikih dari bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Kemudian Martin juga menemukan satu kitab fikih dalam bahasa Jawa dengan huruf Honocoroko. Sebelumnya ia menyangka huruf Honocoroko hanya dipakai untuk budaya Jawa non-Islam, atau pra-Islam, atau bahkan yang Kejawen anti-Islam, tetapi ternyata ada kitab ringkasan dari “Tuhfah al-Muhtâj” karya Ibn Hajar yang ditulis dalam bahasa Jawa Honocoroko dan dicetak di Belanda. Sebagai seorang antropolog, Martin curiga barangkali ada usaha untuk mempengaruhi orang Islam supaya lebih menghargai Honocoroko atau upaya mengislamkan orang Jawa yang masih dalam budaya Honocoroko.

Ia juga menemukan hal lain di daerah Sunda. Dalam pengetahuannya, kitab kuning lebih banyak ditulis dalam bahasa Jawa dengan huruf Arab (Arab Pegon). Dan katanya, dari dulu bahasa pengantar di tataran Sunda adalah bahasa Jawa; kalau ada kitab ‘jenggotan’, itu jenggotannya bukan bahasa Sunda tetapi bahasa Jawa. Tetapi dari hasil koleksinya, Martin menemukan beberapa kitab kuning yang ditulis dalam bahasa Sunda. Dan ia menduga ini merupakan sebentuk pemberontakan terhadap tradisi Sunda yang selalu takluk kepada tradisi Jawa.

Setelah selesai dengan upaya mengkoleksi kitab-kitab kuning, langkah yang ia lakukan selanjutnya adalah memahami isi dari semua kitab itu. Dalam hal ini ada dua tokoh yang menurut Martin sangat berjasa baginya. Pertama, adalah Carl Brockelmann, seorang ilmuan asal Jerman, yang menulis buku lima jilid bertajuk “Sejarah Sastra Arab”. Buku ini oleh Martin digunakan untuk memahami hubungan antara satu kitab dengan kitab lain yang terdapat dalam koleksinya. 

Dengan buku karya Carl Brockelmann ini Martin menjadi tahu tentang tradisi dalam dunia kitab kuning. Sebut saja, misalnya, tentang syarah atau komentar; ada seorang penulis, kemudian setiap orang yang menyalin merasa punya hak untuk memperbaiki atau menambah, dan kalau tambahannya banyak maka itu bisa disebut syarh. Sebagai salah satu contoh, Martin menyebutkan kitab “Tuhfah al-Muhtâj”.

Di Eropa banyak sekali terdapat naskah “Tuhfah al-Muhtâj”, dan ia melihat banyak sekali syarh terhadap “Tuhfah al-Muhtâj” yang di antaranya diajarkan di beberapa pesantren di Indonesia. Dari sini, Martin kemudian paham mengenai genealogi atau silsilah dari kitab ke kitab. Misalnya kitab fikih; bahwa kitab fikih itu terdiri dari beberapa keluarga atau silsilah, yang semuanya hampir dimulai dengan “Tuhfah al-Muhtâj”.

Kedua, adalah Fuad Sezgin, seorang ilmuwan berkebangsaan Turki yang menulis buku 18 jilid tentang sejarah penulisan berbahasa Arab. Bukunya ini oleh Martin digunakan untuk mengetahui tulisan yang lebih awal, yaitu pada abad ke-1, 2, 3, 4, dan 5 Hijriyah. Namun Martin menekankan, bahwa informasi dari buku ini tidak begitu penting baginya. Sebab ia hanyalah seorang antropolog sekaligus sosiolog yang ingin memahami kitab kuning tidak dari segi pandangan seorang kiyai atau pandangan seorang ahli sastra atau ahli akidah, tetapi melihat sejauh mana kitab kuning yang ada itu mencerminkan kehidupan masyarakat Indonesia. Misalnya kitab “I’ânah al-Thâlibîn” karya al-Malibari, yang di dalamnya terkandung beberapa hal yang bukan dari Arab, tetapi dari India. 

Tetapi ada satu kumpulan fatwa dari Syaikh Muda Wali, seorang ulama besar di Aceh, yang banyak mengutip al-Malibari. Di sini Martin melihat, bahwa memang ada kesesuaian antara isi kitab “I’ânah al-Thâlibîn” dengan adat istiadat di Aceh. Dan ini membawa indikasi bahwa antara fikih dan adat ada kesesuaian; satu kitab fikih bisa lebih sesuai dengan suatu adat daripada kitab yang lain. Artinya, menurut pengamatan Martin, tidak semua kitab fikih sama dari sono-nya, tetapi juga mengikuti perkembangan, mengikuti tradisi-budaya masyarakat. Hal ini tidak aneh jika fikih dilihat sebagai sumber pemahaman, karena makna fikih sejatinya adalah pemahaman dan pengertian; kita memahami budaya kita sendiri.

Pandangan Martin yang demikian tidak bisa dilepaskan dari pandangan Muhammad Khalid Mas’ud, seorang ilmuwan besar Pakistan yang melakukan penelitian bertajuk “The Social Production of Syari’ah”, atau “Produksi Sosial Syariat”. Ia mengatakan bahwa syariat, dan terutama pemahaman syariat (fikih), adalah suatu produk sosial—syariat dibentuk masyarakat. Artinya, syariat itu bukanlah suatu produk ilahiyah yang turun dari langit, tetapi merupakan hasil dari proses masyarakat dalam menerapkan wahyu ilahi. Jadi, di sana ada interaksi antara al-Qur`an dan hadits yang diproses dalam kitab fikih yang mencerminkan kondisi-kondisi masyarakat.

Hal itu tentu saja membuat kitab fikih menjadi menarik bagi Martin; bahwa kitab fikih itu adalah kitab yang ditulis pada masa tertentu, oleh orang tertentu, yang hidup di dalam masyarakat tertentu, yang punya persoalan tertentu, dan itu barangkali mempengaruhi sedikit hal-hal mana yang sangat ditekankan. Misalnya masalah “thahârah” (bersuci). Dalam hal ini, antara satu daerah dengan daerah lainnya, sebetulnya tidak terjadi banyak perbedaan. Meskipun mungkin di suatu daerah persediaan airnya sedikit, tetapi para mufti di sana akan menekankan aspek yang lain di dalam “thahârah”. 

Demikian juga, lebih-lebih, dalam masalah muamalah. Karena yang paling kontekstual adalah fikih muamalah yang terkait langsung dengan kehidupan sehari-hari. Tetapi sayangnya—berdasarkan koleksi Martin tahun 80-an tentunya—, kitab-kitab fikih yang ada di Indonesia nyaris tidak ada fikih muamalah, yang banyak justru fikih ubudiyah (ibadah). Namun belakangan, menurut Martin, sudah terjadi perkembangan, bahwa pesantren mulai mengkaji fikih muamalah.

Namun ada keluhan lain dari koleksinya di LIPI, bahwa di pesantren tidak ada fikih siyâsah (politik). Padahal siyasah adalah bagian dari tradisi Islam. Apakah karena pesantren tidak mau berpolitik? Kenapa karya-karya al-Mawardi, misalnya, kurang atau bahkan sama sekali tidak diajarkan di pesantren? Ini adalah pertanyaan yang wajar dan layak diajukan. Sebab para kiyai, khususnya belakangan ini, diketahui punya naluri politik yang sangat luar biasa tinggi. Tetapi kenapa politik yang memang merupakan bagian dari tradisi Islam itu tidak diajarkan?

Tags: antropologfungsi kitab kuningistilah kitab kuningkitab kuningMartin van BruinessenPesantren
Previous Post

Kriteria Negara Islam

Next Post

Kenangan Kecil untuk Agus Sunyoto

Roland Gunawan

Roland Gunawan

Wakil Ketua LBM PWNU DKI Jakarta

RelatedPosts

thumbnail bulletin jum'at al-wasathy
Bulletin

Bulletin Jum’at Al-Wasathy | Edisi 037

12/08/2022
Sekjen MUI Amirsyah Tambunan
Kabar

Jelang 2024, MUI: Tolak Politisasi Agama dan Politik Identitas

10/08/2022
bulletin jum'at
Bulletin

Bulletin Jum’at Al-Wasathy | Edisi 036

05/08/2022
muharram
Kolom

Tradisi Menyantuni Anak Yatim di Bulan Muharram

01/08/2022
Bulletin Jum'at Al-Wasathy
Bulletin

Bulletin Jum’at Al-Wasathy | Edisi 035

29/07/2022
al-Qur'an Sunnah
Gagasan

Ijtihad dan Gagasan Kembali kepada al-Qur’an Sunnah (2)

28/07/2022
Next Post
Kenangan Kecil Untuk Agus Sunyoto

Kenangan Kecil untuk Agus Sunyoto

10 Kiat Mendekatkan Diri Kepada Allah, Telaah Kitab “al-qawâ’id Al-‘asyrah” Karya Imam Al-ghazali

10 Kiat Mendekatkan Diri kepada Allah, Telaah Kitab “Al-Qawâ’id Al-‘Asyrah” Karya Imam al-Ghazali

Cari Artikel

No Result
View All Result

Masuk / Daftar

Masuk ke Akun anda
face
visibility
Daftar | Lupa kata sandi ?

Artikel Teerbaru

thumbnail bulletin jum'at al-wasathy

Bulletin Jum’at Al-Wasathy | Edisi 037

12/08/2022
Anwar Sanusi

Stop Perdebatan Narasi Konfrontasi Antara Pancasila dan Agama

11/08/2022
Sekjen MUI Amirsyah Tambunan

Jelang 2024, MUI: Tolak Politisasi Agama dan Politik Identitas

10/08/2022
Musdah Mulia

Kikis Intoleransi, Jangan Ada Lagi Pemaksaan Jilbab di Sekolah

07/08/2022
bulletin jum'at

Bulletin Jum’at Al-Wasathy | Edisi 036

05/08/2022

Trending Artikel

  • Pribadi Nabi Muhammad Saw Yang Introvert

    Pribadi Nabi Muhammad SAW yang Introvert

    81 shares
    Share 32 Tweet 20
  • Belajar Konsep Ketuhanan dari Surat Al Ikhlas

    62 shares
    Share 25 Tweet 16
  • Cara Islam Mengatasi Rasa Insecure

    53 shares
    Share 21 Tweet 13
  • Disebut Jokowi di Pengukuhan PBNU, Ini Profil Ainun Najib

    49 shares
    Share 20 Tweet 12
  • Definisi Dai, Ustadz, Mufti, Murobbi dan Syarat-syarat yang Harus Dipenuhi

    39 shares
    Share 16 Tweet 10
Putih E E
  • Redaksi
  • Kirim Artikel
  • Tentang Kami
  • Kontak Kami
  • Kerjasama
No Result
View All Result
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Bulletin
    • Bulletin Jumat
    • Bulletin Islamina

© 2021 Islamina - Design by MSP.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

*By registering into our website, you agree to the Terms & Conditions and Privacy Policy.
All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.