Alienasi Masyarakat Modern
Zaman begitu cepat berlalu meninggalkan sisa romantisme kemukjizatan agama. Dimensi sakralitas suasana relijius telah punah, bahkan hancur sejak abad 16 dimulai. Peradaban modern dengan benih-benih pemikiran yang rasional meninggalkan kepercayaan kepada hal yang dianggap bersifat mitologis dan menunjukkan ketidakdewasaan manusia.
Dalam alam pikiran modern, dunia seakan tidak lagi digerakkan oleh kekuatan di luar kekuatan manusia (Supreme being), tetapi akal manusialah yang telah menguasainya. Abad rasio (Age of Reason), begitu orang-orang menyebutnya, dipercayai akan membawa kesejahteraan manusia dalam mengatur dunianya sendiri. Dengan semangat “Sapere aude” manusia melangkah optimis dengan kemampuannya sendiri.
Nalar manusia modern mendorong perubahan di berbagai aspek dengan kemajuan yang begitu pesat baik dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi. Kehidupan manusia tidak lagi dianggap sebagai rentetan misteri yang tidak bisa dipecahkan. Segala sesuatu telah mampu diprediksikan dengan kalkulasi matematis dan positivistik.
Kepercayaan manusia kuno tentang doa-doa dan permohonan keselamatan terhadap kekuatan di luar dirinya sudah tidak laku lagi. Bahkan spiritualitas tentang diri dan Tuhan menjadi lenyap di telan rasionalitas. Itulah abad modern.
Namun, apa yang menjamin kemajuan yang telah dicapai peradaban manusia dalam ketenangan diri dan kebahagiaan hidup? Penderitaan manusia masih ada karena ketulian batin dan kebodohan hati mereka. Manusia dengan keserakahannya saling berlomba untuk merebut dan menguasai lainnya.
Dalam konteks saat ini, kasus perang, teror, kekerasan, hujatan dan makian masih menjadi derita manusia. Penderitaan manusia modern lebih kejam dan sadis dari pada masyarakat purba dan tradisional. Manusia terhimpit di tengah kemajuan yang diciptakkannya sendiri, sementara mereka merasa teralienasi dalam kehidupan yang serba mekanistik.
Kembali ke Spiritualisme
Abad modern dan pasca modern tidak jauh berbeda dengan masyarakat tradisional. Penderitaan dan kebodohan disebabkan manusia mengumbar hawa nafsu dan keinginannya. Menghilangkan penderitaan hidup ini, manusia harus bisa menghilangkan kebodohan hati, ketulian batin dan kserakahannya. Manusia harus kembali kepada spiritualisme yang menyucikan batin.
Saat ini orang-orang Eropa (Barat) mengimpikan suasana ketimuran yang sarat spritualisme, karena mereka yakin budaya matrealisme dan republikanisme Barat akan bisa didinginkan oleh tradisi spritualisme dunia Timur. Masyarakat modern mulai belajar pentingnya mencapai dan mendaki puncak spiritualitas sebagai kunci kebahagiaan.
Nampaknya, kita harus belajar dari dua tokoh suci seperti Muhammad dan Sidharta Gaotama. Menghilangkan penderitaan diri manusia adalah kembali memerangi keinginan diri dan hawa nafsu yang membelenggunya.
Rasanya kita patut untuk merenungkan kembali pesan bijak dari dua tokoh yang berasal dari dunia Timur ini. Mulailah berpikir dan memperbaiki dari diri kita sendiri. Satu pesan yang tidak bisa dilupakan “kendalikan keinginan dan hawa nafsumu” jika ingin membawa perubahan yang besar dalam hidupmu yang lebih bermakna.