Mengapa Imam Syafi’i mengambil kesimpulan bahwa hadits tersebut di atas bukan bermakna keharaman? Ternyata beliau berpijak pada hadits lainnya, dari jalur Sayyidah Aisyah yang berkata:
كُنْتُ أَفْتِلُ قَلَائِدَ هَدْيِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يقلده ويبعث به ولايحرم عَلَيْهِ شَيْءٌ أَحَلَّهُ اللَّهُ حَتَّى يَنْحَرَ هَدْيَهُ
“Dahulu, aku (Aisyah) memintal tali untuk kalung hewan qurban Rasulullah shallallahu alaihi wassalam, lalu kemudian Rasulullah mengalungkannya dan mengirimkannya (ke tempat penyembelihan) dan tidak ada hal yang diharamkan oleh Rasulullah apa yang sudah dihalalkan oleh Allah hingga beliau (Rasulullah) menyembelih hewan qurbannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Gabungan dari hadits Ummu Salamah dan hadits Aisyah ini pada akhirnya membuahkan kesimpulan, khususnya bagi Imam Syafii dan para ulama lainnya yang berpendapat bahwa hukum tidak memotong memotong rambut dan kuku bagi mereka yang ingin berkurban adalah sunnah, dan meninggalkannya adalah makruh tanzih, dan bukan haram.
Tentu pada dasarnya bagi pengurban adalah lebih baik berhati-hati dan hukumnya memang sunnah untuk tidak memotong kuku dan memangkas rambutnya ketika memasuki Dzulhijjah, atau pada sepuluh pertama Dzulhijjah hingga sebelum pelaksanaan pemotongan hewan kurban.
Namun, bagi yang kurang nyaman karena kukunya semakin panjang, atau rambutnya sudah panjang awut-awutan, maka boleh mengamalkan pendapat Imam Abu Hanifah, atau mengikuti pendapat Imam Syafi’i yang sekedar memakruhkan, tapi tidak sampai mengharamkan pemotongan kuku dan rambut bagi yang mau berkurban.
Demikianlah, keluasan Islam, yang memungkinkan para ulama berbeda pendapat dengan cara yang elegan. [SM]