Politisasi agama yang kemudian melahirkan bermunculannnya penceramah radikal di berbagai mimbar keagamaan tentu sangat berbahaya bagi perdamaian dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan politisasi agama telah dijadikan kamuflase politik untuk mewujudkan cita-cita kelompok yang ingin merusak Indonesia.
Kondisi itu semakin parah, dengan keberadaan para pelaku politisasi agama itu yang sudah menyusup di berbagai lembaga negara, lembaga swasta, bahkan dalam ormas-ormas keagamaan. Dinamika ini tidak bisa dipandang remeh. Apalagi dakwah para pengusung politisi agama dilakukan secara massif, terutama melalui dunia digital alias media sosial. Alhasil, tak hanya di dunia nyata, di dunia maya pun penyebaran politisasi agama yang berpotensi menimbulkan intoleransi sangat marak.
Hal inilah yang harus menjadi fokus semua pihak, tidak hanya pemerintah, tetapi juga ulama, tokoh masyarakat, dan berbagai stakeholder yang ada. Pasalnya, intoleransi adalah cikal bakal lahirnya radikalisme yang kemudian bisa menimbulkan aksi terorisme.
Berdasarkan itu, keberadaan para ulama sangat dibutuhkan untuk menjaga Indonesia dari ‘penyakit’ yang menggunakan agama sebagai kendaraan untuk melakukan adu domba, kebohongan, dan fitnah. Tak salah bila pemerintah kemudian membentuk Gugus Tugas Pemuka Agama dalam rangka memperkuat pencegahan radikalisme. Gugus Tugas Pemuka Agama itu terdiri dari para ulama dan tokoh agama dari Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) dan Lembaga Persahabatan Ormas Keagamaan (LPOK).
Ketua Umum LPOI dan LPOK, Prof Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA, menegaskkan pihaknya mendukung dan berkomitmen mencegah penyebaran radikalisme bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terutama yang mengatasnamakan agama. Itu penting guna meningkatkan kewaspadaan serta mengambil sikap bersama menghadapi tantangan radikalisme dan terorisme yang mengancam agama dan keutuhan bangsa.
Artinya, LPOI dan LPOK yang tergabung dalam Gugus Tugas Pemuka Agama siap menggalang kekuatan yang lebih besar, untuk menyikapi tantangan mencegah penyebaran radikalisme ini dan mewujudkan kerjasama serta gerakan konkrit.
Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini juga menegaskan, pada dasarnya tidak ada satu pun agama yang mengajarkan kekerasan. Karena radikalisme terorisme ini muncul serta berkembang melalui ambisi dan tujuan politik tertentu.
Kiai Said mengatakan bahwa kekerasan itu bukan didasarkan agama, tapi yang paling pokok adalah ambisi politik, sehingga agama yang tadinya berupa nilai universal menjadi komoditi politik demi meraih kepentingan tertentu.