”…kunang denira mangan tapa bherawapaksa lkasira amangan śawaning inayĕmira tang śawa tatkala tengah wĕngi sira panadah…”,
Artinya: “… adapun tapa Bherawapaksa olehnya makan mayat manusia, dikunyahnya mayat itu di tengah malam makannya…”.
Ritual-ritual tersebut bertujuan untuk mencapai titik tertinggi atau “pembebasan” realisasi diri. Atau bisa disebut juga dengan istilah kelepasan atau mukso. Keyakinan ini dianut oleh kalangan raja serta para pemuka agama Siwa-Budha dan masih dipegang teguh oleh penduduk Jawa pra-Islam. Dalam perkembangannya, ritual ini menjadi embrio “ilmu hitam” seperti santet, pelet, ngepet di Nusantara.
Begitu menyeramkan sekte atau aliran ini kala itu. Aliran ini juga mengalami resistensi dengan islamisasi di pulau Jawa. Mereka pelan-pelan hilang dengan syiar Islam yang dilakukan oleh para Wali.
Baca Juga:
Melacak Keabnormalan dalam Islamisasi Tanah Jawa (1)
Referensi:
Ariati, Ni Wayan Pasek. Journey of the Goddess Durga: India Java and Bali. (New Delhi: International Academy of Indian Culture and Aditya Prakashan, 2016).
Kinsley, R. David. “Hinduism”. P-H Series in World Religion. (Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. 1982).
Mukaffa, Zumrotul. “Sunan Ampel dan Nilai Etis Islam Nusantara: dari Tantra-Bhairawa Kepada Praktik Keagamaan Nir-kekerasan”. Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Vol. 7, No. 2, (2017).
Putri, Risa Heradita. “Ritual Darah Raja Nusantara”. (2016). artikel dari historia.id
Santiko, Hariani. “Agama Dan Pendidikan Agama Pada Masa Majapahit”. Jurnal AMERTA, Vol. 30 No. 2. (2012).
Soediman. “Latar Belakang Agama Candi Plaosan Lor”. Jakarta: Proyek Pembinaan Kepurbakalaan dan Peninggalan Nasional, 1977).
White, David Gordon. “Tantra in Practice”. (Princeton and Oxford: Princeton University Press. 2000).