Sufisme: Ruang yang Selalu Terbuka
Keraguan kaum sekuler bisa dipandang benar dalam salah satu fase sejarah modern, karena zawiyah-zawiyah sufi terkadang memang membentuk semacam isolasi dari berbagai fenomena di sekitarnya, yang kerap dimanfaatkan sebagai ‘obat bius’ dan ‘pengalihan perhatian’ oleh penguasa kolonial dan penguasa otoriter. Tetapi warisan sufisme kini sangat dibutuhkan setelah tingkat buta huruf menurun dan ekstremisme agama meningkat di seluruh dunia.
Baca juga: Benarkah Demokrasi Bertentangan dengan Islam?Ini Penjelasannya (2)
Warisan sufisme bisa diandalkan untuk membantu umat Muslim memasuki ruang-ruang spiritualitas modern. Sufisme, terutama dalam aspek kemanusiaannya yang lintas agama, sekte, ras dan budaya, seperti yang tercermin dalam ucapan, tulisan dan kehidupan al-Hallaj, Jalaluddin al-Rumi, Rabi’ah al-Adawiyah, Ibn Arabi, Abu Yazid al-Bustami, dan lain-lain, adalah kontribusi terpenting dari para sufi muslim kepada umat manusia.
Sufisme, sebagaimana kita saksikan dalam kilasan sejarahnya yang panjang secara menyeluruh, adalah ruang spiritualitas yang senantiasa terbuka, moderat dan berpihak kepada kebenaran, perdamaian, dan cinta kasih yang terepresentasikan dalam penerimaannya terhadap yang lain serta kemampuannya untuk membuka dialog dan membangun jembatan pemahaman dan harmoni di antara umat manusia.
Berbeda dengan anggapan kaum sekuler, sufisme bukan hanya tren religius atau filosofis yang terisolasi dari konteks masyarakat, tetapi lebih merupakan khazanah nilai dan moral. Para sufi berusaha berinteraksi dengan yang lain dengan spirit kemanusiaan untuk menyebarkan perdamaian dan integrasi antar peradaban, kemudian dengan spirit religius untuk menyampaikan risalah Islam dalam menyerukan koeksistensi dan penolakan ekstremisme dan kekerasan.
Dengan spirit itu, sufisme berhasil menjalin komunikasi dengan peradaban Barat. Sufisme tidak memandang Barat sebagai musuh atau wilayah perang, tetapi sebagai ranah untuk mengambil banyak manfaat dari kualifikasi dan kapabilitas peradaban dan keilmuannya, sembari terus berupaya membenahi kekurangan dirinya, dengan berfokus pada aspek spiritual. Ini merupakan wujud dari dialog yang positif dan produktif.
Ada banyak sekali mazhab sufi di dunia Islam yang terkait dengan lingkungan lokal dan kekhasan zaman di mana sufi hidup. Kita sering menemukan perbedaan dalam ritual dan doktrin sufisme, antara satu sufi dengan sufi yang lain, dan antara satu lingkungan dengan lingkungan yang lain, hingga ke tingkat di mana sufisme dinisbatkan kapada negeri tertentu, seperti “sufisme Persia”, atau “sufisme Nusantara”, dan seterusnya.
Kita juga menemukan sufisme dinisbatkan kepada bidang pengetahuan atau budaya tertentu, sufisme falsafi, sufisme Sunni, sufisme tarekat, dan lainnya. Hal ini menunjukkan adanya “sesuatu yang tetap” yaitu sufisme Islam, yang mengiringi “perubahan” yaitu lingkungan tempatnya bernafas, baik lingkungan geografis maupun intelektual. Konsep sufisme berubah-ubah sesuai pengalaman saliknya dalam waktu dan tempat.
Di berbagai belahan dunia kita menemukan banyak orang memeluk Islam melalui gerbang sufisme. Mereka terpengaruh kekhasan hidup para sufi yang membawa nilai-nilai moderasi, toleransi, penerimaan perbedaan, serta penolakan ekstremisme dan kekerasan, yang berkontribusi pada penguatan dan pendalaman pengalaman spiritual, dan juga transformasinya dari lokal ke global, sebagai globalisasi spiritual yang sesuai dengan semangat zaman.