Dari paparan tulisan sebelumnya, dapat dipahami bahwa akhlak dalam kacamata pemikiran Gus Dur, bukan sekadar berkutat pada ranah ukhrawi semata, melainkan juga duniawi. Sebab, Gus Dur mengartikan akhlak lebih transformatif disesuaikan dengan konteks kehidupan masyarakat, terutama masyarakat Indonesia dan kondisi umat manusia pada umumnya.
Kedua, etika sosial Gus Dur dibangun atas dasar kemanusiaan. Sudah mafhum diketahui bahwa Gus Dur, termasuk orang yang gencar mengampanyekan tentang humanisme dalam setiap kesempatan. Bagi dia, merawat serta menjaga nilai-nilai humanisme merupakan suatu keniscayaan guna melahirkan keharmonisan hubungan antarumat beragama. Jika sampai rusak keharmonisan tersebut, akan sangat sulit untuk dipulihkan kembali.
Artinya, Gus Dur tidak memandang manusia dari mana asal dan latar belakangnya, juga siapapun dan di manapun dia berada. Akan tetapi, bagi dia, manusia adalah salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang patut dimuliakan karena sifat kemanusiaannya tersebut. Sebagaimana Tuhan menghormati dan mengasihi makhluk-Nya, Gus Dur pun juga ingin demikian.
Dalam memandang manusia sebagai manusia seutuhnya, Gus Dur, menyitir ayat Al-Quran surat Al-Hujarat, yaitu:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kami saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujarat: 13)
Lafaz “li ta’arafu” (saling mengenal), oleh Gus Dur dimaknai tidak sekadar mengetahui nama, alamat rumah, nomor telepon atau mengenal dan mengetahui wajah dan bagian-bagian tubuh lain. Akan tetapi, lebih dari itu, saling mengenal adalah memahami kebiasaan, tradisi, adat-istiadat, pikiran, hasrat-hasrat yang lain, yang berbeda, dan yang tak sama. Lebih jauh lagi, “li ta’arafu”, berarti agar kalian saling menjadi arif bagi yang lain, menjadi bijaksana dan rendah hati. (Husein Muhammad, Sang Zahid Mengarungi Sufisme Gus Dur, hal. 52)
Untuk itulah, Gus Dur, acap memperjuangkan hak-hak manusia yang dipasung, ditindas, dan didiskriminasi. Artinya, manusia bukan sekadar dihargai dan dihormati, melainkan juga diperjuangkan hak-haknya untuk memperoleh kesejahteraan hidup di tengah masyarakat. Ambillah contoh, tatkala pengikut Ahmadiyah diusir dan masjid-masjid mereka dirobohkan, Gus Dur hadir bersama mereka. Begitu pula ketika gereja-gereja dilempari batu, ia berteriak dengan lantang “jangan”. Perilaku ini merupakan wujud konkret Gus Dur dalam memperjuangkan kemanusiaan.