Bagi Gus Dur, semua manusia adalah sama. Tidak peduli dari mana latar belakangnya, apa jenis kelamin mereka, warna kulit, suku, agama, ras, dan kebangsaannya. Namun yang Gus Dur lihat, adalah bahwa mereka manusia sebagaimana dirinya dan yang lain. Juga yang dilihat ialah niat baik dan perbuatannya, seperti ungkapan Nabi; “Tuhan tidak melihat keindahan tubuh dan wajahmu, melainkan perilaku dan hatimu”.
Walau begitu, bukan berarti Gus Dur tidak paham bahwa ada yang keliru, tidak ia setujui, dan salah dari mereka yang dibelanya. Namun, Gus Dur, tentu saja, tetap membela dan menemani mereka. Yang Gus Dur bela adalah karena tubuh mereka diserang dan dilukai hanya karena baju agamanya berwarna lain, serta kehormatan mereka diinjak-injak. Padahal mereka tidak melakukan perbuatan apa-apa yang melanggar hukum.
Tindakan dan sikap demikian, menurut Gus Dur, pada hakikatnya tengah lama diajarkan oleh Islam, para nabi dan ulama-ulama terdahulu sejak ribuan tahun lalu. Kemudian, ia mengutip sumber literatur Islam klasik yang berbicara mengenai hak-hak individu. Salah satunya adalah ungkapan Imam al-Ghazali, seorang sufi besar dan kesohor pada masanya hingga saat ini mengatakan; bahwa tujuan aturan agama adalah memberi jaminan keselamatan akan keyakinan (agama) setiap individu, fisik, profesi, kehormatan tubuh, dan kepemilikan harta.
Kelima prinsip ini kemudian disebut dengan “Maqashid al-Syariah” (tujuan-tujuan pengaturan kehidupan), yang merupakan pemberian Tuhan kepada setiap umat manusia, yang tak ada seseorang pun yang berhak mengurangi apalagi menghilangkannya. Dan, inilah yang menjadi basis pijakan fundamental pikiran-pikiran dan langkah-langkah Gus Dur dalam memperjuangkan kemanusiaan untuk memperoleh kesejahteraannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dari sini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa gagasan beliau tentang etika sosial bisa dipahami sebagai gagasan tentang “ajaran Islam, terutama akhlak sebagai pijakan utama memperoleh kesejahteraan sosial bagi manusia”, dengan tanpa memandang perbedaan primordial setiap umat manusia. Selama ia sudah mampu berbuat kebaikan bagi umat, walaupun orang yang berbeda dengan kita, baik agama, suku, budaya, dan bangsa, berarti sudah menerapkan etika sosial dalam konteks kehidupan. Sebagaimana yang digelorakan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Wallahu A’lam