Kegagalan proyek ISIS tidak hanya memberikan pukulan bagi gerakan terorisme paling brutal tersebut, tetapi juga telah mendorong banyak pihak untuk menyuarakan kembali tuntutan-tuntutan mereka sebelumnya, atau setidaknya untuk mengimbangi kenyataan baru, atau menuai hasil dari investasi darah dan senjata yang telah mereka berikan, bahkan ketika perang masih terus berlangsung.
Namun yang pasti, apa yang terjadi setelah jatuhnya ISIS dan perkembangan terkini di Irak tidak dapat dipisahkan dari kembalinya Kedutaan Saudi untuk bekerja di Baghdad sebagai bentuk dukungan Saudi terhadap pemerintah Irak. Begitu Raqqa jatuh, pesawat sipil Saudi pertama tiba di ibukota Irak.
Dalam situasi seperti ini, Indonesia harus aktif mengikuti perkembangan saat ini, sebab banyak pengamat yang memprediksi Indonesia akan menjadi salah satu target strategis ISIS di masa mendatang, juga organisasi-organisasi teroris lain yang merupakan pendukung dan produsen setiap gerakan terorisme, termasuk Ikhwanul Muslimin. Seluruh dunia tahu bahwa Indonesia adalah di antara negara yang paling banyak “mengimpor” jihadis ke Suriah, sehingga tampaknya gelombang besar organisasi-organisasi radikal akan membanjiri wilayah Indonesia dari Suriah.
Pada fase berikutnya kita dituntut mencurahkan upaya berlipat-lipat dalam menghadapi terorisme sebagai operasi, organisasi, dan ideologi, bukan hanya karena itu adalah pokok dari upaya menjaga keamanan nasional, tetapi juga karena proses pembangunan Indonesia skalanya sangat besar sehingga tidak mungkin terwujud kecuali bila intoleransi, radikalisme, dan bahkan terorisme dihilangkan atau dikurangi hingga ke titik di mana semua itu tidak bisa berdiri.
Adalah kebijakan sangat tepat dari pemerintah Indonesia yang menolak pemulangan eks WNI simpatisan ISIS. Sebab jatuhnya ISIS tidak menandakan akhir dari riwayat organisasi teroris tersebut, tetapi hanya menandakan bahwa salah satu babaknya telah berakhir. Karenanya Indonesia harus selalu waspada.[]
*) Wakil Ketua LBM PWNU DKI Jakarta