Sementara itu, Deskripsi Kitab Itḥāf al-Murīd bi Jawḥar al-Tawḥīd berdasarkan British Library sebagaiman link berikut ini https://eap.bl.uk/collection/EAP061-3/search, berjudul dengan, “Irsyād al-Murīd Zammatuhā Ahl Al-Sunna Min Ghayr al-Mazīd”, dengan jumlah 84 lampiran. Kitab yang berhasil dihimpun dari para keturunan Kiai Ageng Muhammad Besari ini berbahan “Dluwang” lokal, dikenal dengan “Kertas Gedong” atau “Dlancang”. Karena kitab ini adalah salinan, sudah barang tentu berbahasa arab sebagaimana kitab-kitab Kuning lainnya. Kitab ini belum jelas, siapakah yang membawa kitab ini, sehingga bisa sampai di Pondok Pesantren Tegalsari? Selain itu, siapa yang melakukan penyalinan dari kitab aslinya?
Sebagaimana sudah umum diketahui, kertas “Gedog” atau “Dlancang” adalah media tulis yang berhasil dikembangkan oleh tokoh-tokoh Pondok Pesantren Gebang Tinatar, (nama lain dari Tegalsari). Dengan kata lain, kitab yang bermedia tulis Gedong hanya dari Tegalsari. Oleh sebab itu, hal ini memicu spekulasi dari para pengkaji naskah kuno Tegalsari. Namun, kitab ini dimungkinan ditulis alias disalin oleh Mbah Mukibbat bin Ismail bin Kiai Ageng Muhammad Besari, atau kitab ini berhasil didapatkan oleh Mbah Mukibbat sebagai bagian dari hasil belajar beliau sepulang dari Haji di Makkah lalu disalin ulang (red: cerita tutur yang berkembang).
Mbah Mukibbat, karena sebagai cucu, diperkirakan lahir awal abad 19, 1800. Sayangya, Itḥāf al-Murīd bi Jawḥar al-Tawḥīd, tidak terdapat keterangan lain tentang perolehan kitab maupun penulisan kitab, atau disebut dengan “kolofon naskah”. Meskipun begitu, keberadaan kitab tauhid yang ditulis oleh seorang bermadzhab Maliki ini jadi bukti betapa luas jejaring Tegalsari dan keterbukaan pemikiran pesantren dengan mengadopsi kitab-kitab lintas madzhab.
Wallahu a’lam bis shawab.