Krisis Lingkungan kini menimpa jagad raya ini. Kerugian lingkungan akibat Tsunami dan gempa bumi yang menimpa Nangroe Aceh Darussalam yang terjadi beberapa tahun lalu sungguh sangat besar. Badan PBB untuk Program Lingkungan Hidup (UNEP) memperkirakan kerugian Indonesia disektor lingkungan hidup akibat tsunai mencapai 675 juta dollar AS atau setara dengan sekitar RP. 6 triliun. Tak itu, kerusakan lingkungan juga menjadi gejala umum hampir seluruh daerah di Indonesia, bahkan di dunia.
Banjir, tanah longsor, polusi, ketidakmenentuan cuaca yang terjadi akhir-akhir ini. Ibu kota Jakarta, bahkan halaman Istana Negara pun tak luput dari sentuhan bencana alam. Alam yang mulanya bersahabat dengan manusia, bahkan diperuntuhkan untuk manusia dalam batas-batas tertentu justru bersifat destruktif dan ancaman yang sangat serius bagi kehidupan manusia.
Ini belum ditambah dengan krisis ekonomi, politik, budaya, kesehatan yang menimpa dunia ketiga, termasuk Indonesia. Semua krisis tersebut kalau menggunakan pandangan R.F Schumacher dalam A Guide for the perplexed (1981) sebagai akibat dari krisis spiritual dan krisis pengenalan kita terhadap Tuhan yang berkaitan dengan kepercayaan (belief) dan makna hidup (meaning of life). Bencana alam akibat krisis lingkungan yang datang silih berganti sesungguhnya merupakan peringatan bagi segenap manusia untuk mereoreintasi hidup yang terus melakukan pengrusakan terhadap alam. Itu terjadi karena perliku manusia yang tidak bertanggungjawab.
Padahal, anjuran melestarikan lingkungan merupakan ajaran yang sangat purba, dan fundamental dari agama. Ini dapat kita cermati dari kasus kejatuhan Adam ke muka bumi ini. Konon, dalam doktrin legend of te fall dijelaskan bahwa Adam tersingkir dari tanah surga yang penuh dengan estitka dan kedamaian, rindang, subur ke muka bumi yang gersang karena tidak mengindahkan ajaran tuhan, yakni kearifan ekologis. Adam dan Hawa (Eva) memakan dan merusak buah dan pohon khuldi (QS.2:35-39). Dari ini, dapatlah dipahami bahwa menjaga lingkungan hidup merupakan doktrin agama yang purba.
Doktrin tersebut telah menempatkan kesadaran dan pemeliharan ekologi sebagai hal utama setelah teologi. Namun, seiring dengan perkembangan manusia, ajaran tersebut semakin terlupakan dan tersingkir ditengah kehidupan kita. Pengrusakan lingkungan, pembakaran hutan, penebangan pohon secara liar dan eskploitasi kekayaan alam secara besar-besaran adalah dianggap abash.
Itu semua terkadang dilakukan dengan dalih bahwa alam semesta telah diciptakan hanya semata-mata hanya demi kepentingan manusia. Sementara, manusia yang mendapat mandat sebagai “khalifah di muka bumi (khalifah fiy al-ardh, QS; 2: 30) seolah-olah di perkenankan melakukan eksploitasi dan pemerkosaan terhadap alam semesta. Padahal, konsep khalifah (aktif memakmurkan bumi) dalam islam tidak pernah otonom. Disamping sebagai khalifah, manusia juga menerima predikat sebagai hamba Allah (Abdullah, pasif menerima aturan Allah) yang seyogyanya melestarikan dan memafestasikan ajaran dan sifat-sifat Tuhan dimuka bumi ini.
Karena itulah, pengrusakan terhadap alam semesta sama sekali tidak mendapat landasan teologisnya. Memelihara lingukungan justru merupakan panggilan teologis yang sangat mulia. Kita sudah semestinya kita memikirkan ulang terhadap kerusakan lingkungan yang sedemikian parah ini dan melakukan langka-langka strategis guna menyelamatkan kehidupan manusia.
Untuk langkah tersebut, usaha menapak tilas pola hiddp orang-orang bijak dan mistikus islam, disana akan dijumpai begitu kecintaan mereka terhadap alam lingkungannya sungguh luar biasa. Lihatlah, Sa’di, penyari Persia yang bersenandung: “Aku gembira dengan kosmos/aku mencintai seluruh dunia/karena dunia milikNya”. Penyair lainnya, seperti Yusuf Emre, dengen puitis menyimbolisasikan fakta ekologi dengan realitas alam surgawi, “Semua sungai yang ada di sorga/mengalir dengan kata Allah, Allah/Dan setiap burung Bulbul bercumbu dan menyanyikan nada: Allah, Allah”.