Eco-theology
Sayyid Hussein Nasr dalam Man and Nuture: Crisis of Modern Man sebagaimana dikutip Ihsan A. Fauzi (1994) menjelaskan bahwa ada dua hal yang perlu dirumuskan sehubungan dengan krisis lingkungan. Pertama, formulasi dan upaya untuk memperkenalkan sejelas-jelasnya, dalam bahasa kontemporer, hikmah perenial Islam (hikmah khalidah/scientia sacra, “philosophia perennis) tentang tatanan alam, signifikansi religiusnya, dan kaitan eratnya dengan setiap fase kehidupan manusia.
Kedua, menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran ekologis yang berspektif teologis (eco-theology), dan jika perlu, memperluas wilayah aplikasinya sejalan dengan prinsip syariah itu sendiri.
Dalam kerangka itulah, membangun sebuah teologi yang berbasis kesadaran dan kearifan eskologis—yang kerap disebut sebagai eco-theology—merupakan sebuah kebutuhan mendesak yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Untuk keperluan itu, ada tiga hal penting yang perlu ditegaskan. Pertama, menempatkan persoalan lingkungan sebagai bagian dari agama. Dalam kitab al-Muwafaqat, Abu Ishaq al-Syatibi membagi lima hal yang menjadi tujuan hukum islam (maqashid al-syariah); 1) menjaga agama (hifdz al-din), 2) memelihara jiwa (hifdz al-nafs), 3) memelihara akal (hifdz al-‘aql), 4) memelihara keturunan (hifdz al-nasl), dan 5) memelihara harta benda (hifdz al-mal). Pertanyaannya, bagaimana dan dimana posisi pemeliharaan ekologi (hifdz al-alam) dalam islam?
Untuk menjawab itu, Yusuf Qordowi dalam Ri’ayah al-Bi’ah Fiy Syari’ah al-Islam (2001) menjelaskan pemeliharaan lingkungan setara dengan mawashidus syariah yang lia tadi. Selain al-Qardawi, Al-Syatibi menjelaskan bahwa sesungguhnya maqasid al-syari’ah merupakan keharusan untuk menegakkan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia, dimana kalau prinsip-prinsip itu ditinggalkan maka kemaslahatan dunia tidak akan berdiri dengan tegak, sehingga mengakibatkan kerusakan dan hilangnya kenikmatan bagi seluruh kehidupan manusia.
Kedua, ajaran Taoisme tentang Yang juga dapat memberi kearifan. Yang digambarkan sebagai agresif, maskulin, kompetitif, rasional. Sementara, Yin dilusikan sebagai konservatif, intuitif, kooperatif, feminim dan responsip. Dalam Taoisme, Yin-Yang harus berjalan secara sejajar dan seimbang sehingga memunculkan keharmonisan antara makrokosmos dan mikrokosmos.
Kenyataan bahwa kita lebih suka berpikir rasional, linier, mekanistik dan materialistik perlu mendapat keseimbangan (balance) dengan menyajikan pengetahuan yang intuitif, non-linier, koordinatif sebagai bentuk dari Yin (kearifan ekologis). Ajaran Taoisme ini kiranya penting untuk diadopsi dalam rangka menjawab krisis ekologi yang terus mengancam kita.
Terakhir, kita mungkin juga perlu mendengar fatwa Charlene Spretnak dalam The Spiritual Dimension of Green Politics. Di situ dia menekankan pentingnya pengembangan Green Politics (politik hijau), gerakan politik yang sadar ekologi. Kebijakan-kebijakan sosial-politik-ekonomi sudah semestinya mempertimbangkan persoalan lingkungan hidupnya. Sudah waktunya para pejabat negara, politisi dan partai-partai menyuarakan pentingnya kesadaran akan politik hijau atau—dalam bahasa Anthony Giddens—politik ekologis (ecological politics) ini. Wallahu a’lam