Di tengah hiruk pikuk kehidupan masyarakat Indonesia dengan beragam persoalan yang menimpa; kekerasan bernuansa SARA, perilaku intoleransi, krisis akhlak, dll., eksistensi pendidikan menjadi urgen. Mengapa? Karena pendidikan merupakan suatu proses yang dapat mengubah sikap dan tata laku seseorang, atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Maka tidak heran, jika banyak masyarakat maupun negara yang menaruh harapan besar terhadap pendidikan. Selain karena diyakini dapat melahirkan generasi yang unggul, berkarakter serta berakhlak mulia, juga mampu memegangi/menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya bangsa. Dengan pendidikan, bisa dipastikan bahwa setiap individu anak didik memiliki kepribadian yang luhur, bermartabat, dan berintegritas.
Dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 dinyatakan, bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Ini berarti, pendidikan tidak hanya mengajarkan proses bagaimana seorang anak didik memperoleh dan memahami suatu ilmu pengetahuan. Namun lebih dari itu, yakni mendidik anak menjadi pribadi yang berkarakter, berakhlak mulia, dan sebagainya. Itulah mengapa, pendidikan dijadikan sebagai ujung tombak dalam membangun masa depan bangsa lebih cerah dan gemilang. Sebesar apapun peradaban sebuah bangsa tanpa ditopang dengan pendidikan yang memadai, maka akan runtuh bak ditelan bumi.
Berbanding terbalik dengan realitas objektif di lapangan dimana kondisi pendidikan kita saat ini cukup memprihatinkan. Ada sekian banyak peserta didik yang telah terbukti melakukan tindakan amoral, seolah tak mencerminkan seorang berpendidikan. Misalnya, tawuran dengan sesama pelajar, tindak kekerasan, bahkan terhadap guru sendiri mereka tak segan-segan melakukannya. Ini berarti, moral, etika, dan akhlak peserta didik kita sangat rendah juga semakin terkikis dari waktu ke waktu.
Ironi ini tidak hanya terjadi pada peserta didik, melainkan juga seorang guru. Kasus demi kasus telah banyak kita lihat – baik di media massa maupun realitas kehidupan – ada oknum guru yang berbuat tidak senonoh terhadap anak didiknya. Miris dan tidak patut dicontoh karena perbuatan tidak mencerminkan profesinya sebagai seorang pendidik. Mestinya, ia memberi teladan yang baik kepada anak didik. Bukan malah sebaliknya.
Adalah wajar jika anak didik melakukan perbuatan serupa sebab gurunya pun demikian. Apapun yang dilakukan seorang guru – baik berupa perkataan ataupun perbuatan – akan menjadi cerminan bagi anak didik. Jika perbuatan dan perkataan guru baik, maka anak didik pun demikian. Sebaliknya, jika negatif tentu sudah jelas. Saya sependapat dengan salah satu adagium yang sudah masyhur di lingkungan pendidikan, bahwa guru itu adalah “orang yang digugu dan ditiru”.
Fenomena ini menunjukkan kenyataan dan pengalaman sangat pahit yang tidak bisa ditampik oleh dunia pendidikan. Pendidikan yang digadang-gadang sebagai ujung tombak, seakan tengah dianggap gagal dalam mendidik akhlak dan moral – baik peserta didik maupun pendidik itu sendiri. Tentunya orang-orang akan bertanya-tanya mengapa hal demikian bisa terjadi? Bukankah pendidikan adalah instrumen paling tepat dan efisien membentuk kepribadian seseorang?